(90) Ego, Benci, dan Gengsi

1.5K 100 40
                                    

Aku mencari kebahagiaan di tengah rasa ketersiksaanku, aku rela pergi meninggalkan semuanya, tetapi alih-alih pergi malah aku mengerti betapa kerasnya perjuangan hidup. Ketika aku sudah berdamai dengan semuanya, hampir mendekati kebahagiaan, aku mendengar bahwa semesta berbisik ke dalam hatiku, "kebahagiaan tidak perlu dicari, dia akan datang dengan sendirinya. Alam terkadang tidak adil terhadap kehidupan, ada takdir yang menggariskan garis lurus kebahagiaan terhadap satu garis keturunan yang sudah hidup bergelimang harta, dan ada takdir yang menggariskan garis berliku tiada habisnya kepada orang yang serba kekurangan."

Kebahagiaan adalah mitos yang selama ini kucari.

Jika dipikir, memang terkadang alam tidak adil oleh manusia. Aku mewakili perasaan kalian yang selalu merasakan hidup dengan perasaan cemas, minim kebahagiaan, rintangan yang selalu menjerat tanpa pernah selesai. Aku sudah terbiasa hidup dengan penuh kesusahan, aku pernah berada di fase titik terendah dalam hidup, dimana aku tahu bagaimana rasanya menjadi seseorang yang putus asa, tidak diinginkan oleh siapa pun.

Secara tidak sadar, aku mengetahui bahwa sejahat-jahatnya orang berbuat curang, masih terselip rasa khawatir terhadap apa yang dilakukannya. Apalagi dengan kehidupan rumah tangga yang telah lama dibangun, sekali pun berawal dari ikatan tanpa cinta. Lama-kelamaan tanpa disadari, rasa sayang dan saling membutuhkan pasti akan muncul. Perlahan, akan berubah menjadi sebuah rasa cinta.

Daripada berandai-andai tentang kebahagiaan dari cinta. Lebih baik aku mengunci rasa cintaku terhadap kedai yang tidak pernah mengkhianatiku.

Aku yang masih tertahan di kedai hingga larut sore tetap sabar dan menghargai jalinan kerja sama yang ditawarkan oleh ibu yang duduk di hadapanku. Banyak sekali surat yang harus kuurus untuk kerja sama yang akan dimulai minggu depan. Kerja sama yang cukup menguntungkan untukku dan kemajuan kedai.

Aku menyematkan tanda tanganku di lembar paling terakhir, dan berkata, "akhirnya semua surat kontrak sudah saya tanda tangani ya, Bu."

"Saya juga senang, berarti kita deal, ya?" ucapnya sambil menjulurkan tangan kepadaku.

Aku membalas jabatan tangannya, "deal. Kerja sama akan dimulai minggu depan. Terima kasih atas kepercayaannya ya, Bu. Semoga ke depannya berjalan dengan lancar. Kalau begitu, saya undur diri karena ada urusan mendadak yanga harus selesaikan. Apakah Ibu tidak keberatan jika saya harus pergi habis ini?"

"Malah saya yang meminta maaf, Mbak. Kedatangan saya yang terlalu lama menganggu waktu, Mbak. Sekalian saya juga mau pamit, Mbak. Saya pulang dulu ya, Mbak."

"Baik, Bu. Hati-hati di jalan ya, Bu. Mari saya antar keluar," aku berjalan lebih dahulu untuk membukakan pintu.

Pegawaiku membungkukkan badannya untuk menghormati tamuku saat berpapasan. Kami berdua harus berjalan di pinggir ruangan agar tidak melewati antrian pengunjung. Berhasil melewati keramaian, si ibu berjalan sendiri ke mobilnya. Aku menunggunya hingga mobil keluar dari parkiran.

Bersamaan telah perginya tamuku, ponselku mengeluarkan bunyi yang khas tanda ada pesan yang masuk. Aku buru-buru membukanya.

From: Pak Dokter

Rei, Mas nggak tahu lagi harus gimana. Orang tua kamu terlalu mengedepankan egonya, apalagi Yanda kamu yang bodoh itu. Kalau urusan kamu sudah selesai, cepat datang ke rumah kamu. Hati-hati di jalan, nyetirnya jangan ngebut ya, sayang.

Pasti surat yang tadi aku terima isinya gugatan cerai. Gimana, sih Yanda? Kenapa malah menceraikan Bunda? Aku menduga-duga dengan isi surat dari pengadilan agama tadi. Kalau ditanya bagaimana perasaanku sekarang, jawabannya adalah emosi dan geram. Kalau Yanda bukan ayahku, sudah pasti aku akan mencaci, dan menamparnya.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang