(31) Axel Frustasi

3.6K 195 18
                                    

Happy Reading! Nih buat yang kangen Om Axel 😘
----------------------------------------------------

Rembulan berseri-seri memberi tanda kehidupan pada bumi yang gelap, dengan menampakkan wujudnya bulat secara sempurna di langit. Bulat dan utuh, memancarkan sinarnya di tengah gulita malam temaram. Semilir angin menghembus sangat kencang menerpa dedaunan yang menggantung di ranting pohon. Semua dedaunan bergoyang menimbulkan bunyi gesekan dengan ritme yang tidak teratur ala pohon yang tertiup angin. Hawa dingin mulai menjalari tubuh dan menusuk tulang makhluk hidup. Perlahan rasa dingin membuat orang-orang merasa butuh sebuah kehangatan.

Namun, lain halnya dengan perasaanku. Dalam sejarah nomor dua hidupku, aku merasakan kecemasan yang berlebihan memikirkan orang lain selain ibuku. Yeah, benar. Aku diharuskan untuk memikirkan nasib seorang gadis yang entah aku sebut ia sebagai apa, maksudku aku tidak tahu sebutan apa yang cocok untuk baginya. Gadis yang biasanya kutemui dengan senyum yang terukir indah di wajahnya, tetapi memiliki sejuta rahasia dibalik senyumannya. Bukan senyum bahagia yang sebenarnya terpancar, tetapi senyum terpaksa pura-pura menampilkan kebahagiaan. Seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya, gadis itu selalu saja tidak pernah menceritakan masalah dalam hidupnya. Jika ada penobatan ratu drama aku yakin ialah pemenangnya, ia mampu melakoni peran berbagai macam sifat dengan gamblangnya. Terlampau pintar udah menutupi kesengsaraannya.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakit yang ia rasakan seorang diri di usianya yang sangat belia. Beban pesakitan yang harus ia pikul di masa remajanya. Kehilangan momen sebagai seorang gadis remaja yang senormalnya, tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, mendapatkan cacian dari temannya sendiri, dan yang paling parah adalah dia tidak memiliki satupun orang yang bisa ia jadikan sebagai tempat berkeluh kesah menumpahkan segala curahan isi hatinya. Aku bingung dengan pola pikirnya yang mendoktrin dirinya untuk selalu mengatakan aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja.

Persetan dengan semua! Aku memaki keadaan.

Tanganku menjambak rambutku sendiri dengan kasar, sampai-sampai ada beberapa helai rambut yang tercabut. Mana bisa aku tetap tenang setelah melihat rangkaian peristiwa demi peristiwa yang menimpanya?!

Mengapa takdir begitu kejam harus menimpa seorang gadis rapuh?

Mengapa Tuhan?
Mengapa tidak ada sedikit takdir baik untuknya, sekali saja?

Salah satu tanganku mengusap wajahku dari atas ke bawah sambil menggelengkan kepala. Aku tidak tahan untuk tinggal diam saja melihat semua penderitaan yang dialami Reina.

Kalau takdir bisa ditukar, lebih baik aku menggantikan posisi Reina dahulu, agar Reina bisa bernapas dengan lega menikmati dunia seutuhnya tanpa ada beban yang menggantung.

Kasihan sekali Reina.

Bahkan kata kasihanpun tidak cukup untuk mewakili perasaaanku terhadap kondisinya.

Walaupun aku seorang pria dewasa, menangis bukan hal yang haram bagiku. Baru kali ini aku menitikkan air mata hanya dengan menatap wajah sayu sang gadis yang senantiasa terlelap tanpa tahu dimana ia berada. Ia bertahan memejamkan mata sejak tiga hari yang lalu, dimana terjadi ia mengalami peristiwa kecelakaan. Beruntung, asisten pribadiku menemukannya saat ia baru saja terjatuh, kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan nasib apa yang akan terjadi padanya. Telat beberapa menitpun nyawanya akan terancam, mengingat darah yang mengalir di kepalanya sangat deras. Aku sangat bersyukur, karena keputusanku untuk menyuruh asistenku mengantar makan siang bisa menjadi penolong bagi Reina. Bukan sebuah kebetulan yang direncanakan, tetapi ini sebuah feeling.

Buliran air mata semakin berjatuhan saat aku mendekatkan diri untuk memandangi wajah cantiknya yang terlelap dengan damai. Tonjolan tulang pipi yang kentara menandakan ia sangat kurus, bagaimana ia bisa gemuk kalau ia setiap saat harus berpikir ekstra akan nasib hidupnya? Aku menyentuh wajahnya dengan sentuhan lembut, membelai wajahnya dari dahinya hingga ke pipinya. Kulitnya lembut sekali, seperti kulit bayi yang masih alami belum mendapatkan perawatan. Bulu mata yang lentik, aku selalu melihatnya karena ia tidak lelah memejamkan matanya.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang