44. Kehidupan Pahlawan

45 12 20
                                    

Orang-orang bilang, "Kehidupan seorang pahlawan itu biasanya sulit, penuh perjuangan dan penderitaan."

Dan, kehidupan yang aku jalani sejak lahir tidak sulit, penuh perjuangan, apalagi penderitaan. Hidupku biasa saja, seperti kehidupan anak remaja tunggal biasa, seperti seseorang yang memiliki orang tua, keluarga, saudara, dan sepupu yang biasa saja. Tidak sempurna, tapi kehidupanku menyenangkan.

Mungkin karena Hamia bukanlah seorang pahlawan, melainkan seorang pelindung. Jadi kami tidak perlu melalui kehidupan semacam itu. Namun kehidupanku benar-benar berubah setelah ulang tahunku yang ke empat belas. Sekarang aku sulit membedakan mana kehidupanku yang sebenarnya. Berlatih di Angkasa Ketiga, atau menjadi seorang remaja, siswa, dan anak biasa selama satu hari di Angkasa Kelima. Aku pikir aku akan mulai terbiasa jika hari mudah berlalu, tapi sekarang, setelah seminggu berlalu di dunia nyata, dan waktu waktu dua puluh delapan tahun di Angkasa Ketiga——ngomong-ngomong kami hanya hanya menghabiskan waktu dua tahun empat bulan di sana, rasanya... sedikit aneh.

Aku melihat penuaan dari Juki dan Jaki secara langsung. Awal kami datang ke mari, mereka masih terlihat segar dan muda seperti pria umur tiga puluh lima tahunan. Dan sekarang, mereka sudah menjadi kakek-kakek umur enam puluh tahunan. Di sisi lain, aku melihat ke kehidupan normalku: tumbuh seperti anak remaja lainnya di bangku SMP, memiliki teman, mengerjakan tugas sekolah, dan melihat romansa remaja--aku hanya melihat. Rasanya aneh, di satu sisi aku merasa abadi, dan di sisi yang lain aku merasa tumbuh normal seperti remaja biasa.

Mungkin hanya aku yang merasakan ini, karena Nova dan Tristan terlihat tidak memiliki tekanan. Atau, aku merasa tertekan karena ramalan itu?

"Ketika salah satu anak keturunanmu memiliki anak kembar, maka salah satu diantaranya akan mati, dan salah satu yang lain akan mewarisi kepemilikan dari si anak yang mati. Lalu akan menjadikannya seorang Hamia terkuat yang pernah ada. Membuat seluruh makhluk yang memiliki sifat setan menginginkan kematiannya."

Katanya aku akan menjadi Hamia terkuat. Katanya makhluk-makhluk yang memiliki sifat setan akan mengincar hidupku——itu benar, karena selama seminggu terakhir, kadang aku merasakan aura negatif yang mungkin berasal dari iblis level tiga belas, dan kadang-kadang aku melihat salah satu dari sepupuku mengalahkan mereka. Dan aku menjadi merasa di-spesial-kan, padahal aku tidak spesial. Melihat sepupu-sepupuku melakukan itu untukku, rasanya ada sesuatu... yang mengganjal. Rasa tidak nyaman.

Hari ini Bang Ajun menyuruh kami mengantre untuk melawannya. Katanya dia ingin tahu perkembangan kami dalam Bela Diri Hamia Kuno. Tristan menjadi yang pertama, dia sedang melawan Bang Ajun, dan kali ini Bang Ajun tidak membuatnya menangis. Nova sedang pergi ke toilet——di pendopo ini memang ada toilet, tapi jaraknya cukup jauh, lima menit berjalan ke belakang salah satu Pilar Langit yang ada di samping pendopo kecil. Jadi di sinilah aku, menonton Tristan yang sedang menyerang Bang Ajun sambil duduk bersila menunggu giliran.

"Kau terlihat lesu." Suara dingin nan datar terdengar di samping kananku. Aku langsung melihat ke arah sumber suara, dan dia sudah duduk bersila di sana——aku tidak merasakan kehadirannya.

"Kau seperti jelangkung saja, 'datang tak diundang, pulang tak diantar'," kelakarku. Dan jangan tebak ekspresi wajahnya, dia tidak tertawa sedikit pun. Dia hanya menatapku sekilas, lalu mengahadapkan wajahnya ke depan.

"Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanyanya.

Aku menunduk dan mencoba menggambar sesuatu di atas lantai batu hitam dengan jari telunjuk milikku. "Tidak ada yang mengganggu pikiranku."

"Kau tidak bisa menggambar di atas batu dengan jari telunjuk," katanya, tanpa melihat ke arahku.

"Siapa tahu ada keajaiban."

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang