7. Aku Dan Tristan Ditolong Oleh Anak SMA

143 32 14
                                    

"Kenapa kau berteriak?" tanya Tristan. Dia berjalan mendekatiku, keluar dari asap tanah yang pekat, tempat dimana kepiting sialan itu menghantamkan capit kirinya.

Aku berdiri, mendekatinya. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan mata terbelalak, sambil memegangi kedua bahu, tubuhnya dan wajahnya. Memastikan bahwa yang sedang berdiri di hadapanku ini bukanlah hantu Tristan.

"Sehat sentosa," katanya, dengan seringai yang menyebalkan.

"Peraturan pertama bagi Hamia Tingkat Pemula: jangan pernah membelakangi musuh," ujar seseorang yang berada di dalam asap tanah tebal.

Samar-samar aku dapat melihatnya. Dia sedang berdiri di atas kepiting mutan tadi yang sekarang sudah ringsek——melesak tujuh puluh sentimeter ke dalam tanah. Di tangan kanannya ada sesuatu seperti senjata berbentuk dinosaurus jenis triceratops. Kemudian dia melompat dari sana, dan mulai mendekati kami. Tubuhnya yang mungkin hanya beberapa sentimeter dari kami berdua mulai terlihat.

"Ramdhani?" tanya Tristan.

"Hai." Dia tersenyum. "Sarung tangan yang bagus, Tristan."

Tristan tersenyum malu-malu. "Iya, ini..." Wajahnya memerah," ..." Tiba-tiba ada." Kemudian dia melirikku. Ekspresi wajahnya seperti berbicara, "yang kau katakan benar, senjatanya seperti dinosaurus triceratops."

Aku mengangkat bahu sambil tersenyum miring, seperti sedang berkata, "sudah kubilang."

"Peraturan kedua bagi Hamia Tingkat Pemula: jangan pernah lengah," kata seseorang, yang aku tahu berasal dari arah atas.

Kami semua mendongak untuk melihatnya.

Dan di sana, tepat enam meter di atas kami, berdirilah——atau mungkin melayang——di udara, seorang siswa SMA yang sedang memegang pedang. Pedang yang memiliki tiga tonjolan dan bisa mengeluarkan bola api dari tebasannya.

"Api Pembakar Iblis: Meriam Neraka!" serunya sambil mengayunkan pedang. Sebuah bola api yang memiliki diameter tujuh kaki keluar dari tebasannya, lalu melesat ke arah kepiting mutan ke dua, berada tepat di belakang kepiting pertama yang sudah ringsek.

Ada dua?

Api tersebut membakar dua kepiting itu. Raungan kesakitan terdengar——aku merasa tidak asing dengan raungan itu. Oh iya, aku pernah mendengarnya kemarin. Seorang pemuda setinggi 187 sentimeter yang ramping berjalan membelakangi api merah yang berkobar. Sepertinya dia tidak kepanasan, padahal aku saja yang berjarak sekitar dua meter darinya merasa kepanasan.

Dia tersenyum. "Wow, kepemilikanmu sama dengan kepemilikan ayahmu, Tristan."

"Hah?" Tristan menampilkan wajah bodohnya. Terlihat memang tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Maman.

Aku mulai membuka suara. "Jadi waktu kemarin itu kalian benar-benar——"

Kata-kataku dipotong oleh suara seseorang. "Peraturan ke tiga bagi Hamia tingkat pemula: jangan mudah puas," katanya.

Tepat ketika aku berbalik untuk melihat ke arah sumber suara, dua shuriken ukuran normal berbentuk bintang lima sudut melesat melewati telingaku. Mataku menemukan cewek menyeramkan yang tinggi sedang berdiri empat meter di belakang kami. Tangan kanannya berpose seperti sudah melempar sesuatu. Lalu aku kembali berbalik ke arah depan ketika terdengar suara raungan. Sekarang mataku menemukan monster lobster raksasa yang berada lima meter di belakang dua kepiting yang sedang terbakar. Dua shuriken yang memiliki bentuk bintang lima sudut besar berwarna perak menancap di dadanya——menembus cangkangnya yang berwarna hitam mengkilap sampai membuat cangkang di sekitarnya retak-retak.

Tunggu, ada tiga?

Tunggu dulu, bukankah shuriken yang barusan melesat melewatimu itu berukuran normal? Kenapa sekarang bisa sebesar ban truk enam belas roda?

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang