53. Baldaraqa

33 11 14
                                    

Makhluk itu berjalan mendekat. Tingginya tidak kurang dari lima belas kaki. Badannya besar dan kekar——tidak sebesar Hulk, tapi itu masih disebut besar. Seluruh tubuhnya berwarna gelap, ada urat-urat hijau tua yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia tidak mengenakan pakaian kecuali celana dalam lusuh. Kepalanya botak, ada tanduk yang mirip seperti garpu mencuat dari kedua pelipisnya, dan ada dua tanduk lain yang lebih kecil di belakang kepalanya. Dia tidak memiliki hidung, dan matanya hanya berupa warna hijau saja.

Tiba-tiba Anty datang, dia melompat turun dari Taigra, dan mendarat tepat di hadapan kami. Dia kembali membuat Meriam Aldebaran membesar sepuluh kali lipat, sampai-sampai ujung selongsongnya menghantam si Iblis yang sedang berjalan keluar dari api, dan menyeretnya sejauh lima puluh meter, sampai ke dalam hutan yang ada di belakang rumah Kakek.

"Matilah kau, Bajingan!!" teriaknya. Anty menembakkan Meriam Aldebaran ke tubuh si Iblis dengan jarak yang sangat dekat. Cahaya merah membutakan pandangan, kami semua tidak bisa melihat apa-apa. Lalu asap dan angin kencang yang berasal dari efek ledakkannya datang. Kami menutup mata. Disusul bunyi ledakan besar, telingaku kembali berdenging. Selama beberapa saat kami tidak bisa mendengar suara apa-apa.

Barulah lima menit kemudian, mungkin, kami samar-samar bisa mendengar dan melihat sekitar. Hutan Lindung Hancur, Gunung yang berada di belakang rumah Kakek menghilang, hanya tersisa jelaga hitam sejauh mata memandang. Efek ledakan dari meriam ini menghancurkan tiga puluh hektar.

"Kalian baik-baik saja?" tanya seseorang yang aku tahu adalah Bang Ahad. Dia berdiri di depan kami dan masih memegang pedang besarnya.

Diana mendongak melihat ke arahnya. "Ya, Tuhan, dia benar-benar tampan jika dilihat dari dekat."

"Bang, dia belum kalah!" teriak Anty, yang masih duduk di balik Meriam Aldebaran.

Bang Ahad berbalik melihat ke arahnya. Iblis itu sedang mencoba bangkit dan mengusap-usap badannya.

"Dia tangguh," ucap Nova. "Tubuhnya sama sekali tidak tergores."

"Dia salah satu Jenderal Iblis tertua. Umurnya lima ribu puluh tahun," jelas Bang Ahad——mungkin penjelasannya ini penting.

"Tanya saja namanya siapa. Abang pasti mendapatkan kuasa atas iblis itu," ujar Tristan serta bangkit dan mencoba untuk duduk. Begitu pula denganku. Apa yang dikatakan Tristan ada benar juga, sebut saja namanya.

Bang Ahad malah menggelengkan kepalanya. "Untuk beberapa iblis tertentu, nama sudah tidak lagi bisa berpengaruh apa-apa. Dan namanya adalah Baldaraqa."

"Aku senang kau masih mengingatku," ucapnya, si Baldaraqa. Tubuh Baldaraqa tiba-tiba membesar seperti Kak Gita. Sekarang tingginya mungkin lebih dari tiga belas meter.

"Dan kami juga mengingatmu," kata seorang perempuan. "Sekarang!"

"Serangan Penjaga Empat Arah Mata Angin!" ucap keempat orang yang aku ketahui adalah suara dari Kak Anggita, Destia, Putri, dan Faiz.

Harimau putih raksasa tiba-tiba datang dan menerkam Baldaraqa. Dia menggigit bahu kirinya. Membuat Baldaraqa hanya berdiri dengan kedua lututnya. Lalu naga biru sepanjang lima belas meter datang dan membelit tubuhnya. Kura-kura hitam datang dan menindih punggungnya sampai Baldaraqa membungkuk untuk menahan berat tubuh si kura-kura, ular hijau yang membelit tubuh kura-kura beralih membelit leher Baldaraqa. Burung Phoenix merah muncul dari langit, dia terbang menukik ke bawah dan menerkam kedua tangan Baldaraqa dengan cakarnya. Membuat kedua tangannya terangkat ke belakang.

Keempat sepupu yang melakukan itu kepada Baldaraqa tiba-tiba muncul di samping Bang Ahad.

"Aku terkesan," kata Baldaraqa. "Ini berat juga, cengkeraman dan belitannya cukup menghambat pergerakanku. Aku akan memberi kalian nilai A." Suaranya sedikit tercekat, mungkin karena belitan ular hijau yang melilit lehernya.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang