15. Dongeng

115 24 11
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Hujan deras selama satu jam terakhir telah reda. Langit masih sedikit kelabu. Cahaya matahari sedikit mengintip dari balik celah-celah kecil awan abu-abu yang lembab. Suhu masih agak dingin. Siswa dan siswi masih mengenakan pakaian hangat mereka.

Tadi pagi Helmi tidak banyak bertanya. Mungkin karena dia tahu diri, dia itu baru berteman bersama kami, dan tidak seharusnya banyak mengorek sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dia ketahui. Walaupun kami tidak masalah akan hal itu, tapi aku mengira Helmi berpikiran seperti itu.

Aku, Tristan, dan Nova sedang berjalan menuju bis sekolah bersama siswa-siswi lainnya. Menghindari genangan-genangan air. Anak cowok dari kelas lain malah bertingkah seperti anak kecil. Mereka dengan sengaja menginjak-injak genangan air supaya memercik ke arah cewek-cewek——bukan hanya kepada para cewek-cewek tepatnya, tapi pada kami pula.

Nova memekik ketika roknya terkena cipratan air genangan, "Setan!!" Agak bar-bar memang.

Para laki-laki itu malah terkikik-kikik.

"Woy! Hati-hati, dong! Kena celana, nih!" seru Tristan, alisnya menukik tajam.

"Santai, Sob. Santai," ucap salah satu laki-laki sambil mengangkat kedua tangannya dan tersenyum miring.

Aku menepuk bahu Tristan dan mengajak Nova agar kami segera masuk saja ke dalam bis. Namun, belum juga sampai, rombongan anak SMA lewat. Secara tidak langsung menghalangi jalan kami menuju bis.

"Eh, hai, Sepupu," sapa seorang cewek SMA berambut hitam bergelombang, dengan senyuman yang sangat cantik——cantik lokal dengan warna kulit kuning langsat. Dia adalah Kristina, atau yang sering dipanggil dengan sebutan:Tina.

"Hai," jawab Tristan, membalas senyumannya. Sebenarnya kami bertiga membalas senyumannya, hanya saja senyuman Tristan berbeda.

"Aku dengar kakakku akan menjadi guru kalian bertiga," ucap cewek berambut lurus dengan mata lebar dan hidung mancung, mirip-mirip orang timur tengah atau Mesir. Dia adalah Gina (adik kandung Kak Gita).

"Dan aku dengar, kalian akan menjadi murid dua cowok paling tampan. Sepertimu, Tristan," kata cewek cantik lainnya, rambutnya sedikit keriting dan berkilau. Itu Mega.

Wajah Tristan memerah.

"Tenang saja, Aran. Kau juga tampan. Jarang-jarang ada laki-laki tampan tanpa lesung pipi," ucap Tina sambil merangkulku.

Aku tidak meminta untuk dipuji.

"Tapi hati-hati, jangan sampai kalian terkena serangan berlebihan mereka berdua," ucap cowok berkulit sawo matang dengan senyuman miring dan rambut yang dibelah dua. Dia adalah Perdi.

Tristan sedikit meliriknya.

"Tutup mulutmu, Perdi!" sentak Tina.

"Aku benar, kan?" Perdi mengangkat bahunya. "Mereka berdua sampai menghancurkan dua gunung, ketika Bang Ahad menyuruh mereka untuk memperlihatkan cara bertarung yang tepat kepada kita."

"Itu bukan berlebihan, Perdi. Itu keren," kata cowok yang mengenakan snapback berwarna navy, matanya agak sipit, dan sejak tadi dia hanya diam sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Itu Faiz. Ya, keluarga kami memang berdarah campuran. Di mulai dari timur tengah sampai merembet ke Asia, dan Jawa——Jawa Barat tepatnya.

"Jangan dengarkan dia," kata Mega padaku, Tristan, dan Nova. "Dia hanya iri karena tidak menjadi murid dari seseorang yang berhasil menjadi Hamia tingkat Master di usianya yang ke sembilan belas."

Kami bertiga mengernyit tidak mengerti. Dan aku bertanya dalam hati, siapa seseorang itu? 

"Aku? Iri?" Perdi menunjuk dirinya sendiri, dia terkekeh seperti mencemooh perkataan Mega. Lalu tak lama, dia berhenti terkekeh dan menampilkan wajah datar. "Tentu saja."

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang