5. Olahraga

162 39 23
                                    

"Kau masih ingin tetap berdiri di sana dan terlambat ke sekolah, atau kau masih ingin tetap berdiri di sana tanpa mengacuhkanku sehingga aku tinggalkan?"

Aku tersadar dari lamunanku. "Aku, tidak ingin keduanya."

"Kalau begitu aku beri kau pilihan ke tiga: ayo cepat naik."

Aku naik ke boncengannya, lalu motor Vespa pun melaju di jalan lengang dengan anggun. Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat (setidaknya menurutku). Jarum spidometernya hampir menunjuk ke angka empat puluh.

"Feb, aku tidak, mengenakan helm," kataku, akhirnya bisa bicara.

Ya, seseorang yang sedang mengendarai motor Vespa ini Febri. Kakak laki-laki Tristan dan calon guruku (walaupun aku tidak tahu guru untuk mengajariku tentang apa). Mungkin beberapa dari kalian menyebutku tidak sopan santun karena memanggilnya tanpa iming-iming kata "kak" atau "bang" atau "mas" dan sebagainya. Tapi beberapa orang di keluargaku memang begitu, kami jarang memanggil seseorang dengan iming-iming kata tersebut jika umurnya satu sampai lima tahun di atas kami. Jadi, aku harap itu menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kalian ketahui.

Dia malah balik bertanya, "Terus?"

"Kalau ada polisi, nanti kena tilang."

"Jadi, kau mengenakan helm hanya karena takut terkena tilang?" Nada suaranya dingin, sampai-sampai membuat udara menjadi dingin. Mungkin karena pagi ini sedang mendung.

"Tidak, bukan seperti itu, tapi...."

"Sudahlah. Di sekitar sini tidak akan ada polisi. Lagi pula aku pun tidak akan membawamu berguling-guling di atas aspal sampai kepalamu bocor."

Aku tidak tahu, apa aku harus tertawa atau ketakutan. Nada suaranya masih terdengar dingin. Dan aku sedikit melirik di kaca spionnya, wajahnya datar, matanya yang tertutup kacang kotak besar berframe hitam, rambutnya yang hitam agak sedikit terlihat dari helm open face yang dia kenakan——sebenarnya Febri tidak mengenakan kacamata, mungkin dia memakainya kali ini karena helmnya tidak memiliki kaca depan.

"Feb...."

"Sudahlah, Aran. Kau diam saja. Agar aku tidak menyesali apa yang aku lakukan ini."

Aku tidak ingin kalian berburuk sangka kepada sepupuku yang satu ini. Tapi kalian bisa menyebutnya sedang bercanda. Febri bukan orang seperti itu. Sebenarnya dia sangat baik, hanya saja terhalang oleh sifatnya yang dingin, seolah-olah acuh tak acuh.

Sisa perjalanan itu berlanjut dengan keheningan. Aku sampai di sekolah, dan tepat ketika aku sudah melewati gerbang, Pak Satpam menutupnya. Tak lupa aku berkata terima kasih saat turun dari motor Febri. Dia mengangguk untuk meresponnya, lalu kembali melajukan motornya.

Saat sampai di kelas, situasi sedang ricuh. Anak-anak cewek dan cowok sedang berdebat tentang siapa yang berganti pakaian olahraga lebih dulu. Ya, sekarang jam pelajaran olahraga. Anak-anak cewek ingin berganti pakaian di dalam kelas, dan menyuruh anak-anak cowok agar keluar. Katanya, untuk mempersingkat waktu, dan takutnya, pakaiannya mereka terjatuh jika berganti di toilet. Sedangkan anak-anak cowok keras kepala, mereka tidak mau keluar dari dalam kelas, karena mereka pun akan berganti pakaian.

Di tengah-tengah pertengkaran itulah aku masuk dan menemui Tristan. Sudah kuduga, dia tidak akan capek-capek ikut berdebat, dan memilih untuk berganti pakaian saja dengan santai. Dia sedang membuka kancing baju terakhir ketika bertanya, "Kau datang naik apa? Bis sekolah sudah ada di sekolah saat aku datang."

Aku menyimpan tas ransel di atas meja, lalu membuka resletingnya. "Lalu, kenapa kau tidak memberitahuku, jika akan pergi bersama Bang Ajun?"

Dia membuka seragam sekolahnya——anak-anak cewek beralih menatap tubuh Tristan yang hanya memakai kaus dalaman. "Aku hanya ingin mengetes, apakah Abang akan mengajakku berangkat bersamanya atau tidak, jika dia tahu bahwa aku terlambat. Aku lupa memberitahumu."

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang