"Waktunya untuk lari lagi," ujar Tristan.
"Bagaimana dengan Chika?" tanya Dwiki.
Aku mendekatinya. "Akan aku obati," ucapku. Lalu aku membungkuk dan memegang pergelangan kaki Chika. Dia bersemu——itu bukan berasal dariku. Pendar cahaya biru mudah berpendar dari tanganku dan menyelimuti pergelangan kaki Chika. Aku merasakannya. Kakinya memang terkilir. Aku juga sedikit merasakan perasaannya yang... dia...
Pendar cahaya menghilang, dan aku langsung melepaskan pegangan tanganku darinya. Selama beberapa detik, kami berpandangan. Kemudian aku berkata, "Kau sudah tidak merasa sakit?"
Chika mengangguk.
"Kau bisa berjalan?"
Chika kembali mengangguk, wajahnya merah. Dia berdiri sendiri.
"Dan kau bisa menggunakan trik sulap untuk menyembuhkan seseorang yang terkilir?" tanya Ilham. "Kalian benar-benar penyihir."
Kkrrraaaakkk!
Retakan es semakin melebar ke segala arah. Bahkan si Ular sudah bisa menggerakkan mulut dan lidahnya, matanya masih melotot ke arah kami.
"Ayo cepat lari! Sekarang!" teriak Tristan.
"Naik ke punggungku, aku bisa mengangkut empat orang," kata Nova sambil merendahkan tubuhnya. Para gadis menaiki Nova.
"Seharusnya tadi aku mengutukmu menjadi naga saja sekalian," ucap Diana. "Nilai ujian praktek Bahasa Indonesia kita pasti A plus, plus, plus, plus."
Lalu Nova berlari dengan empat gadis di punggungnya. Lagi pula mungkin sayap itu terlalu kecil untuk membawanya terbang ke angkasa. Sedangkan kami, para laki-laki, berlari di belakangnya.
Tak sampai tiga menit kami berlari memasuki hutan. Si ular putih sudah kembali mengejar dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Sekarang yang mengejar kami ada dua ular. Satu yang berkepala tunggal, dan satu lagi yang berkepala ganda——karena Tristan membelah kepalanya menjadi tiga, lalu membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Mereka sama-sama mendesis menakutkan. Sesekali mereka membuka mulutnya.
"Aku berhutang segudang pertanyaan untuk kalian," ucap Helmi.
"Apa itu masih penting sekarang?" tanya Tristan.
"Tentu saja. Kalian tiba-tiba menjadi keren dalam sehari. Padahal setahuku, kalian hanya murid SMP kelas sembilan biasa. Kita satu kelas sejak kelas tujuh, dan aku baru mengetahui jika kalian adalah penyihir." Aku tidak menyangka jika Ilham bisa berlari sambil berbicara sebanyak itu.
"Kami bukan penyihir," kata Tristan.
"Lalu apa?" tanya Helmi.
"Sesuatu yang lain, yang lebih... bersih, daripada penyihir," kataku.
"Memangnya penyihir itu kotor?" tanya Ilham.
Ular itu semakin dekat, dan Nova tiba-tiba berhenti.
"Ada apa?" tanya Tristan.
"Jurang!" balas Nova.
Kami berjalan ke depan. Jurang dengan kedalaman, mungkin, lima puluh meter terbentang di hadapan kami. Ini terlalu tinggi jika kami ingin melompat ke bawah. Dan lagi, Nova tidak bisa terbang. Aku dan Tristan berbalik ke arah si Ular yang semakin dekat. Dwiki, Helmi, dan Ilham mengikuti kami berbalik.
"Sekarang bagaimana?!" tanya Ilham dengan histeris.
"Kita semua akan mati!!" ucap Diana.
"Padahal setidaknya aku ingin masuk SMA dulu. Lalu kuliah. Lalu menikah. Dan memiliki anak!" ucap Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Фэнтези[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...