21. Kamar Surga (Tapi Tidak Ada Bidadari Bermata Indah Di Sini)

85 17 6
                                    

"Ini adalah kamar surga," decaknya.

Aku setuju. kamar ini luas——mungkin luasnya belasan kali lipat dari kamarku. Ada dua tempat tidur ukuran Super King Size yang terpisahkan oleh jenderal tinggi (atau mungkin pintu berkaca) yang sedang terbuka lebar memperlihatkan balkon dan pemandangan indah danau juga perkebunan. Ada dua tanaman palem bambu di sisi kiri dan kanan jendela dalam sebuah pot raksasa yang terbuat dari batu.

Tristan langsung berlari dan melompat ke tempat tidur dengan seprai berwarna hijau muda. Tidur tengkurap di atasnya. "Ini nyaman," gumamnya. "Beludru premium." Dua tangannya mengusap-usap seprei tersebut.

Aku pun ikut duduk di atas kasur besar yang satunya lagi, berwarna seprei biru muda.

Di sebelah kanan kasur Tristan terdapat satu set tempat duduk, ada jendela besar juga yang menampilkan balkon dan pemandangan, di sisi kiri dan kanannya terdapat dua tanaman palem bambu. Begitu juga di sisi kiri tempat tidurku, ada satu set kursi. Di hadapan tempat tidur kami masing-masing, ada sebuah meja belajar besar yang sudah dipenuhi oleh buku pelajaran dan alat tulis. Sangking besarnya meja belajar itu, mungkin bisa dipakai lima sampai enam orang sekaligus. Aku berjalan mendekati meja belajar itu, lalu meletakkan buku PR, alat tulis, dan ponselku di atasnya. Aku menyadari sesuatu, tidak ada alat elektronik di sini.

"Aku ingin melihat, apa yang ada di ruangan selanjutnya." Dia beranjak dari tempat tidur, dan berjalan cepat menuju ruangan berikutnya yang tidak memiliki daun pintu sebagai penghalang. Meninggalkan buku PR, tempat alat tulis, dan ponselnya di atas tempat tidur. Aku pun mengikutinya dari belakang.

Kami sampai di sebuah ruangan yang bisa disebut sebagai walk in closet. Di sisi dinding sebelah kiriku terdapat lemari terbuka yang menempel di dinding sampai ke atap. Ada banyak pakaian yang tergantung dan terlipat, semuanya rapi. Ada tiga deret laci besar yang bertumpuk dua baris di bagian bawahnya. Dan ada namaku yang diukir di atas sebuah nametag kayu, tergantung di bagian tengahnya. Apa pakaian ini milikku?

Aku berbalik, ada satu set kursi di atas karpet Turki di tengah-tengah ruangan ini, dan di atasnya terdapat lampu gantung kristal yang menyala terang. Tapi cahayanya tidak terlihat seperti cahaya lampu, lebih mirip cahaya alami dari alam, tapi tidak kalah terang dengan cahaya lampu. Dan aku bertanya-tanya, untuk apa satu set kursi di tengah-tengah walk in closet?

"Apa semua pakaian ini untuk kita? Tapi, bukankah kita hanya dua jam si sini? Lalu untuk apa semua pakaian ini?" tanya Tristan, dia berjongkok dan membuka laci lebar paling bawah di lemari yang tergantung namanya, lemari kami saling berhadapan. Dia mengambil sesuatu dari dalamnya dan mengangkat sesuatu itu ke arahku dengan kedua tangannya. "Bagaimana mereka tahu ukuran celana dalamku?"

Aku mengalihkan pandanganku darinya, beralih menatap pakaian yang tergantung rapi dan meraba-rabanya. "Mungkin Febri yang melakukan semua ini," tebakku. "Aku mengenal selera pakaiannya."

Tristan mengangkat bahunya sekilas. "Ya, mungkin saja." Dia kembali menyimpan sehelai celana dalam yang baru saja dia ambil ke dalam laci, kemudian melirikku. "Tunggu dulu, apa selera pakaian Kakak?"

"Mirip gaya pakaian boyband Korea?" tebakku, lagi, sambil mengangkat bahu sekilas. "Tapi lebih monokrom. Mungkin."

"Ah." Tristan mengangguk-angguk setuju. Kemudian dia berjalan mendekati pintu yang bersebalahan di dinding sebelah kirinya. "Ini pintu apa?"

"Jika ini adalah walk in closet, maka mungkin, itu adalah kamar mandinya," jawabku.

"Benar juga." Tristan memegang pegangan pintu tersebut. "Kamar ini, kan, mirip kamar surga, dan katanya, di surga ada bidadari bermata indah yang disiapkan Tuhan untuk kita. Apa menurutmu di sini juga ada bidadari bermata indah?" Sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang