"Ayo kita lihat," ajakku. Entah berasal dari mana rasa penasaran ini, tapi aku benar-benar ingin melihat makhluk itu. Aku ingin memastikan sesuatu, yang sebenarnya tidak ingin aku pastikan.
"Apa kau gila?! Aku tidak mau! Aku masih menginginkan hidupku yang kadang, membuatku sedikit sakit hati ini." Nova malah mencurahkan hatinya. Aku mengerti perasaanmu, Nova.
"Tristan, kau..." Kalimatku terhenti. "Tristan?" Anak itu sudah tidak ada di tempatnya berdiri semula. Lalu mataku menemukannya. Dia sedang berlari kecil, kembali menuju lapangan olahraga yang berada di belakang sekolah. Tempat dimana makhluk itu melesat.
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku pun mengejarnya. Melewati lapangan olahraga luar ruangan yang terkurung oleh pagar jaring kawat setinggi empat meter——lapangan yang baru saja kami pakai. Lalu memutari gimnasium (ruangan olahraga dalam ruangan), untuk sampai di halaman paling belakang.
Mataku menemukan Tristan yang sedang berdiri merapat di gedung gimnasium. Aku berlari mendekatinya. Kami berada di gang antara gimnasium dan pagar beton yang berjarak sekitar empat meter. Aku berdiri di belakang Tristan dan menepuk pundak kirinya dengan tangan kanan. Dia sedikit menoleh ke arahku, sebelum kembali melihat ke arah depan. Ke halaman yang luasnya sekitar seribu meter persegi, dipenuhi oleh semak-semak liar setinggi satu sampai dua meter sebelum mencapai pagar beton terdekat. Ada pula beberapa pohon, seperti pohon pisang, sengon laut, dan pohon lainnya.
"Kau sudah melihatnya? Hewan apa itu?" tanyaku.
"Entahlah."
"Dia ke mana?"
"Tadi dia berlari ke sini. Tapi setelah aku sampai, dia tidak ada. Aku ragu. Tapi kau tadi melihatnya, kan?" Tristan melirikku. "Bercapit besar dan memiliki cangkang berwarna hitam?"
Aku mengangguk untuk mengiyakannya. Tristan kembali mengarahkan wajahnya ke arah depan. Matanya menyipit mencari sesuatu. "Aku rasa tidak ada orang lain yang melihat makhluk itu."
"Kenapa begitu?"
Tristan menggigit bibir bagian bawahnya. "Hhmm... kemarin aku menguping pembicaraan Abang dan Bang Ahad."
Sudah kuduga. "Mereka membicarakan apa?"
"Ya, soal makhluk yang mengincar sesuatu." Dari ekspresi wajahnya yang aneh, aku bisa membaca jika Tristan sedang menyembunyikan sesuatu dariku. "Dan, hanya keluarga kita yang bisa merasakan keberadaan mereka, juga melihat mereka. Aku tidak tahu apakah ada keluarga lain yang bisa melihatnya juga atau tidak, Abang dan Bang Ahad tidak membicarakannya. Tapi, mereka bilang kita kaum... Homoa, Homai, Hamoa, Hamua... aarrggghhh, apalah itu, aku tidak ingat."
"Hamia?" tebakku.
"Ya, itu. Mereka bilang keluarga kita salah satu keluarga besar kaum Hamia. Yang artinya, ada keluarga-keluarga lain pula," jelasnya. "Tunggu dulu, bagaimana kau tahu?" dia kembali melirikku.
"Tebakkan beruntung?" Itu suatu kejujuran, kan? Lagi pula aku hanya menebak saja.
Setelah lengang beberapa saat, aku membali berbicara. "Jadi, apa yang aku lihat di belakang gedung UKS kemarin, bisa saja adalah sebuah kebenaran?"
"Sebenarnya aku mempercayaimu kemarin," jujurnya, akhirnya. "Aku sudah sedikit——"
Kata-kata Tristan terhenti ketika tiba-tiba sesuatu terjatuh dari langit. Sesuatu tersebut kelihatannya sangat besar dan berat. Karena saat menghantam tanah, dentuman keras terdengar. Ditemani oleh angin kencang sampai menghempaskan kami berdua sejauh dua meter ke belakang, dan asap tanah yang mengepul.
Tristan meringis dan mencoba berdiri. "Aw."
Aku mendesah sakit. Pantatku.
"Barusan itu apa?" tanya Tristan. "Meteor?"
![](https://img.wattpad.com/cover/236590872-288-k997364.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantasi[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...