Kami semua menghabiskan waktu di sana dengan menikmati makanan yang dibeli oleh Tristan dan Bang Ajun, sambil memandangi pemandangan matahari terbenam di semenanjung yang sangat-sangat indah. Ngomong-ngomong Nova dan Kak Gita sudah kembali, mereka membawa banyak sekali berang belanjaan. Jika ada yang bertanya dari mana mereka mendapatkan uang? Jawabannya dari villa Kakek Ali, di sana ada ruangan berisi banyak sekali koin perunggu, perak, dan emas. Dan kami boleh mengambilnya——secukupnya. Aku tidak bertanya datang dari mana koin-koin tersebut, aku pikir keluargaku memang sangat kaya raya di Angkasa ini.
"Memangnya barang-barang ini bisa di bawa pulang ke Bumi?" tanyaku.
"Tentu saja bisa," jawab Kak Gita. "Barang itu berbeda dengan makhluk hidup. Mereka bisa dibawa dan dikenakan di Bumi."
"Tapi, kenapa barang elektronik tidak berfungsi di sini?" tanyaku.
"Mungkin karena medan magnetik yang berbeda, atau atmosfer yang berbeda, atau sebagainya. Atau mungkin teknologi buatan manusia memang tidak begitu berguna dan bagus," jawab Kak Gita. Ada nada canda di kalimat terakhirnya.
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi tidak kulakukan. Tadinya aku berharap Tristan yang bertanya, tapi dia sibuk memakan cumi-cumi bakar. Jadi, ya sudah.
Matahari sudah terbenam di langit barat——akan sangat aneh jika matahari di sini terbenam di arah mata angin yang berbeda bukan? Tapi sayangnya itu tidak terjadi. Warna-warni dari kembang api menghiasi langit berbintang yang masih berwarna indigo di musim gugur. Sangat indah. Barulah setelah itu kami pulang ke villa, dan lagi cuaca di sana sudah cukup dingin, pakaian yang kami kenakan tidak cukup tebal.
Hatiku sedikit agak lega setelah berbicara dengan Febri, tadi. Walaupun aku masih tidak tahu apa yang harus aku pilih, dan kapan waktu yang dikatakannya itu? Semuanya terlalu banyak teka-teki, dan aku tidak tahu apa-apa——seperti di film-film atau novel-novel saja.
***
Keesokan harinya, kami kembali berlatih di Pegunungan Pilar Langit yang masih tidak aku ketahui yang sebelah mana——mungkin memang tidak penting juga. Bang Ajun sudah menunggu kami di pendopo sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia mengenakan pakaian yang sama seperti aku dan Tristan, membuat otot-ototnya terlihat. Fostur tubuhnya sudah cocok untuk menjadikannya sebagai atlet voli, basket, atau American Football, atau mungkin anggota tentara, jika rambutnya cepak. Febri dan Kak Gita tidak ikut, katanya mereka ada urusan sebentar, barulah nanti saat waktunya makan siang mereka akan datang.
"Baik, aku ingin melihat sejauh mana kalian sudah belajar," katanya dengan suara yang dalam.
"Dek." Dia menatap adiknya. "Maju dan serang Abang."
Tristan mengangguk, lalu dia mendekati Bang Ajun. Tristan mencoba menyambar wajah Bang Ajun dengan kaki kanannya, gerakan yang Tristan buat mirip gerakan taekwondo——Febri memngajari gerakan itu.
Tangan kiri Bang Ajun menepisnya sampai Tristan limbung dan hampir terjatuh. "Apa yang kau lakukan?"
"Itu teknik menendang," jawab Tristan.
"Kau bilang itu teknik menendang? Lakukan lebih baik!" Bang Ajun sedikit meninggikan suaranya. Jujur, aku sedikit terkejut. Dan lagi, Bang Ajun menyeramkan——aura menyeramkannya berbeda dengan milik Febri. Jika Febri memancarkan aura dingin, Bang Ajun lebih membara.
Tristan membuat kuda-kuda dan siap meninju Bang Ajun, namun Bang Ajun menangkisnya. Dan sebuah tamparan, yang mungkin cukup terasa perih, menempel di pipi kiri Tristan——oke, Bang Ajun balik menyerang dengan tamparan, itu lebih baik dari bogem mentah. Mungkin. Lihat saja tangannya, dia mungkin bisa meremukkan kepalaku dengan hanya mencengkeramnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/236590872-288-k997364.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantezie[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...