20. Selamat Datang Di Villa Keluarga Alali

88 17 1
                                    

Seperti yang Bang Ahad katakan kemarin, kami disuruh datang ke rumah Paman Erdin (yang mana adalah Papa Tristan) pukul lima sore. Dan itu artinya, kami memajukan jam kerja kelompok menjadi pukul setengah tiga sampai setengah lima lebih. Setelah itu kami langsung bubar.

Tidak ada yang spesial pada saat kerja kelompok. Chika masih selalu memperhatikanku dengan malu-malu seperti saat di sekolah, cewek-cewek lain memilih memperhatikan Tristan——kecuali Nova, Dwiki malah memperhatikan Nova diam-diam, dan Helmi seperti orang linglung——dia seperti tidak fokus, selalu menjawab ha-hu-ha-hu ketika ditanya——aku curiga Jenderal Iblis itu kembali menempel padanya. Tapi aku tidak merasakan perasaan aneh seperti saat berdekatan dengan iblis berbentuk kepiting waktu itu.

Sepulang dari rumah Nova, aku tidak langsung ikut Tristan ke rumahnya. Aku pulang dulu ke rumah untuk menyimpan naskah drama, pipis, minum segelas air, menggendong dan menggaruk kepala Phusie, dan mencicipi puding jeruk buatan Bunda. Barulah setelah itu aku berangkat menuju rumah Tristan dengan membawa PR dan alat tulis——itu yang dikatakan Bang Ahad kemarin.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di rumah dua tingkat berpagar hitam setinggi dua meter, dan memiliki halaman luas yang dijadikan sebagai taman. Bersih dan rapi, dipenuhi oleh tumbuhan hijau, juga tumbuhan berbunga——di halaman depan rumahku juga ada tumbuhan berbunga karena Bunda menyukai tanaman, tapi tidak sebanyak di rumah Tristan.

Aku langsung masuk ke dalam pagar tanpa menyapa pemilik rumah, karena Tristan sedang duduk di kursi rotan yang ada di teras depan sambil bermain ponsel.

"Nova belum datang?" tanyaku sambil duduk di kursi sebelah kirinya, kemudian mengangkat jam tangan di tangan kiriku, sekarang pukul enam belas lewat lima puluh lima sore.

Tristan menggelengkan kepalanya untuk merespons pertanyaanku. Dia masih menatap ponselnya yang berposisi landscape dengan kedua tangan. Lidahnya sedikit menyembul dari dalam mulut. Dua jempolnya menekan-nekan layar ponsel. Aku menengok ke arah ponselnya sekilas, dia sedang bermain game online. Dan sepertinya, dia belum masuk ke dalam rumah sejak sepulang dari rumah Nova. Karena naskah drama miliknya tergeletak di atas meja yang ada di hadapanku.

Lalu sebuah mobil merah berhenti di samping pagar depan rumah Tristan. Aku mengenal mobil merah itu. Dua perempuan keluar dari pintu pengemudi dan penumpang.

"Kau ternyata sudah sampai di sini, Aran," ucap perempuan yang memiliki mata lebar, sambil tersenyum ke arahku. "Pantas saja tadi Tante Nina bilang kau sudah berangkat."

Kemudian Kak Gita masuk ke dalam rumah Tristan. Sebelumnya dia bertanya apakah Febri ada di rumah atau Tidak, dan Tristan menjawabnya dengan anggukan. Perempuan lain yang semok menghampiri kami, ada buku PR dan tempat alat tulis di tangannya. "Hari ini mereka akan mengajari kita apa, ya? Katanya waktu belajarnya hanya dua jam. Apa mereka bercanda? Jika hanya dua jam, mungkin mereka hanya akan menjadi guru bimbel kita saja."

Tristan mengubah posisi ponselnya menjadi potrait, tanda jika dia sudah selesai bermain, atau, tertarik dengan pembicaraan yang Nova mulai. "Aku rasa Abang tidak akan cocok menjadi guru bimbel, nilai rata-ratanya saat sekolah saja tidak lebih dari tujuh. Masih lebih baik aku. Tapi jika Kakak yang menjadi gurunya, aku percaya. Dia selalu masuk, minimal tiga besar, dari SD sampai SMA."

Aku mempercayai itu. Febri memang cukup cerdas.

Seseorang menyembul dari balik pintu jati rumah Tristan. "Sepupu-sepupu, kita pergi sekarang saja. Kata Febri, Bang Ajun pulang pukul enam. Dia bisa menyusul nanti. Ayo."

Kami pun mengikutinya masuk ke dalam rumah. Rumah Tristan itu sedikit aneh, jika rumahku bergaya arsitektur minimalis, rumah Tristan lebih ke... perpaduan tiga gaya arsitektur. Bagian luar rumah terlihat seperti rumah Modern: karena bentuk rumahnya kotak persegi, dipenuhi ornamen yang terbuat dari besi dan beton. Lalu bagian dalamnya bergaya Amerikan Klasik yang dipadukan dengan gaya Industrial. Paman Edwin memang bekerja sebagai arsitek, tak salah rumahnya bisa terdiri dari beberapa gaya arsitektur, dan tertata dengan baik. Sedangkan Tante Nindi bekerja di perusahaan konsultan terbesar di negara ini. Membuat mereka berdua sangat jarang sekali pulang ke rumah. Namun rumah ini sangat rapi dan bersih, seolah tidak pernah ditinggalkan oleh pemiliknya. Padahal tidak ada asisten rumah tangga di rumah Tristan, dan penghuni sehari-harinya adalah laki-laki. Tapi semuanya sangat terawat dan rapi.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang