BAB 30 : Salju di Musim Gugur (5)

764 147 72
                                    

Tanpa mendengar jawabannya, lingkaran aray aktif di bawah mereka, mengirim mereka ke istana pribadi Grandmaster.

Grandmaster dengan kasar mendorong Kaisar Dewa Sastra ke ranjang merah delima, menindihnya, "Katakan padaku! Apa kau ingin menjadi Gong atau Shou?!"

Setelah kehilangan kemampuannya mengendalikan salju! Atau setelah Grandmaster menciumnya dengan paksa! Serta di dorong paksa ke ranjang dan ditindih kasar, Kaisar Dewa Sastra akhirnya meneteskan air mata, dia merasa hina dan tidak berguna.

Dia tidak mampu melawan Grandmaster yang terlalu marah, memasang rantai di kedua pergelangan tangannya, menekannya di ranjang, menyedot kekuatannya. Sementara Grandmaster menindihnya dengan marah dan marah!

Ekspresinya tidak berguna menatap Grandmaster yang hanya memakai topeng tipis setengah wajah. Suaranya sangat lemah, "Jika saya memilih ... apakah itu sebuah kehinaan atau kehormatan?"

Air matanya menetes lagi.

Atap-atap istana Grandmaster mungkin akan berakhir dengan kepunakan!

"Apa menurutmu ini suatu kehormatan?! Katakan saja kau ingin posisi Gong atau Shou?" Grandmaster dengan marah mengambil kain kasa merah, melipatnya seukuran empat jari, menutup mata Kaisar Dewa Sastra dengannya.

Ketika wajahnya turun dan menggigit bibir Kaisar Dewa Sastra, suara rintihan keluar dari bibir itu!

Dia dengan kasar merobek pakaian pengendali salju ini, melemparkannya ke lantai.

Tangannya yang putih pucat, urat biru menonjol di permukaan tangannya, perlahan berjalan di atas kulit seputih salju itu.....

Skip!

Dia mendengar rintihan Grandmaster, diikuti suara marah dan bibirnya dicium kasar ketika menyesuaikan gerakan di bawahnya.

Entah kenapa dia rela membuka bibirnya, membalas ciuman itu dengan kehangatan.

Batu-batu es yang turun perlahan berkurang, tetapi alam fana masih dilanda kekacauan sehingga Kaisar Dewa Agung berbicara sambil memegang kepala, menekan pelipisnya, "Grandmaster dan kaisar Dewa Sastra sama-sama memiliki hati yang sensitif."

Dia menunjuk Kaisar Dewa angin dan Dewa-dewa perang muda untuk turun ke alam fana, menenangkan salju ini.

Setelah membiarkan mereka pergi, Kaisar Dewa Agung memasuki istana pribadinya, duduk di tugu cahaya.

Dia melihat tugu cahaya yang melambangkan sepasang dewa sedang menjalin hubungan, mengukir sepasang nama.

Nama yang di ukir itu mengeluarkan warna merah darah dan salju kental, sepasang nama yang membuat tugu di olesi benang takdir menghubungkan sepanjang kata nama mereka.

Ini adalah takdir berdarah, sepasang Dewa ini akan mengalami hal-hal menyedihkan menemami hidup mereka.

Entah sampai kapan! Tetapi Kaisar Dewa Agung, menaruh cangkir cahaya di atas tugu, mengucapkan frasa keselamatan semoga mereka dikeluarkan dari takdir berdarah.

Saat terakhir kali mengunjungi alam fana, dia melihat Grandmaster dan Kaisar Dewa Sastra sedang bermesraan, terlihat serasi dan bahagia.

Tetapi pagi ini dia merasakan kemarahan Grandmaster untuk Kaisar Dewa Sastra yang besar, kemudian dia menemukan tugu cahaya dengan sepasang nama mereka yang dilumuri darah takdir.

Apa-apa an semua ini?

Apakah sebuah takdir yang tumpang tindih antara kebahagian dan kehancuran?

Dia telah menjadi Dewa Agung lebih dari empat ribu tahun, tetapi tidak pernah menemukan takdir berdarah, selalu ada pasangan dewa-dewa yang ditakdirkan bersama dan kehidupan mereka damai dan membahagiakan.

Untuk takdir Grandmaster dan Dewa Sastra ini, kepalanya perlahan menggeleng dan meninggalkan istana pribadinya dengan muncul di dapur istana, memesan kopi hangat.

Duduk di tepi ruang makan istana Dewa, memandang ke awan hitam yang berat, angin dingin membawa aura yang menyeramkan.

Dia menutup mata, menyesap kopinya perlahan.

Grandmaster benar-benar marah!

Sosok yang dipikirkannya itu turun dari ranjang, menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh telanjang Kaisar Dewa Sastra.

Mengambil pakaian, menutupi tubuhnya sendiri ketika pergi ke kolam air panas, membersihkan tubuhnya.

Berendam setelah cukup lama, dia merasakan kepalanya mendingin dan wajahnya memucat seolah kehilangan darah di seluruh tubuhnya.

Dia keluar, memasangkan pakaian bersih di tubuhnya, mendongak dan mengamati istananya, banyak atap-atap yang telah hancur dan meninggalkan bongkahan es yang belum mencair.

Salju masih turun lebat, bongkahan es tidak turun lagi seolah langit kehabisan bahan.

Saat teringat kata-kata Kaisar Dewa Sastra yang tidak mampu mengendalikan kekuatannya, senyuman pahit bersemayam di bibirnya. Apa ada yang salah dengan kekuatannya? Apa itu suatu kutukan?

Dia memasang topeng setengah wajah dan memasuki kamarnya.

Duduk di sisi ranjang, perlahan tangan rampingnya memegang kain penutup mata Kaisar Dewa Sastra dan melepaskannya.

Di balik itu, sepasang mata emas menatap lemah padanya. Kulit wajahnya dipenuhi bekas air mata, bibirnya pucat, bengkak serta dilumuri air saliva.

Sepanjang batang tubuhnya berpeluh dingin dan kering. Di antara selangkangnya cairan putih yang mengering, sangat lengket dan tidak nyaman. Di sepasang tangannya masih terpasang rantai dan menyiksanya.

Dia tidak tahan lagi, "Grandmaster... tolong katakan di mana salahku?"

Sepasang alis Grandmaster tampak menyatu, dia menyipit, "Kau tidak tahu?"

Kaisar Dewa Sastra menggeleng-geleng, suaranya bergetar dengan kepahitan, "Bukankah kau sengaja menyuruhku menjauhimu?"



Zula.

Dibuat 25|10|2020

Dipublikasikan 22|02|2021

Author Note : Sebagai permintaan maaf karena bab ini di skip, Zul akan up lagi nanti malam atau besok. Sampai jumpa!

[End] Ancestral God of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang