BAB 33 : Ketertarikan (3)

732 146 37
                                    

Kaisar Dewa Sastra berbalik badan, memandang Dewa Kematian yang duduk di atas batu tinggi di luar batas istana. Jubah borkat merah abadinya melayang-layang dihembus angin dingin, dia berpangku tangan dan merapatkan kedua kakinya yang berayun-ayun lembut.

Gayanya yang elegan, santai serta bebas di alam bebas membuatnya menjadi ratu pandangan.

Kaisar Dewa Sastra tidak berkedip, hidungnya yang lembut bersemu tipis, "Bagaimana kalau aku mencarinya di luar istana?"

Ha ha ha ha.

Grandmaster melompat turun, topengnya berubah saat menginjak anak pertama, berjalan perlahan mendekati Kaisar Dewa Sastra yang berdiri di pertengahan tangga.

Dia telah memakai topeng tipis setelah menginjak tangga yang sama dengannya, "Tidak perlu mencari ku. Aku akan datang pada mu."

Keduanya berangkulan dan tersenyum dengan lembut. Atas kepergiannya tiba-tiba dari alam surgawai, membuat Kaisar Dewa Sastra mengejarnya turun, mengabaikan semua kekacauan yang diciptakannya.

"Kenapa kau mengeluarkan kekuatanmu lagi? Kau mengacaukan sebuah istana dan sepertinya sepanjang tahun akan mengalami musim dingin." Grandmaster menengadah, butiran salju yang halus itu melayang-layang turun seperti dandelion yang ditiup angin sepoi-sepoi.

"Mencoba membantu penyegelan pedang tua." Tetapi kaisar Dewa Sastra malah mengacaukannya dan Kaisar Dewa Agung tertawa tanpa henti, meledeknya dengan riang.

"Bagaimana pun...." Grandmaster mengemul kata-katanya, kepala Kaisar Dewa Sastra tiba-tiba menyelusup di ceruk lehernya, merinding merayap ke tulang punggungnya, pipinya menjadi bersemu.

"Bagaimana kau begitu berani? Ini salju buatan mu dan aku membeku menunggu mu di atas batu, turun lama sekali."

"Maaf telah membuat mu menunggu, aku akan menghangatkan mu."

Rangkulan keduanya mengerat. Grandmaster merenggangkan kepalanya, melihat Kaisar Dewa Sastra yang menutup mata, rambut panjangnya jatuh ke pipinya. Karena dia yakin, makanya berani menunggunya di atas batu dan ditemani dingin salju.

"Terimakasih, kau memang hangat, tetapi salju mu sangt dingin. Telat sedikit lagi, aku akan membeku kedinginan." Grandmaster melepaskan rangkulannya, menaiki tangga bersalju, meninggalkan jejak kaki di setiap anak tangganya.

Kaisar Dewa Sastra mengikuti langkahnya, jejak kelembutan menari-nari di matanya mengikuti Grandmaster masuk dan membawanya ke istana dapur.

"Kaisar Dewa Sastra, apa kau tidak lapar?" Grandmaster duduk di bangku meja makan, menyilangkan kaki dengan anggun.

Ekspresinya lembut melihat Kaisar Dewa Sastra mengangguk.

"Kalau begitu..."

Grandmaster menggigit jarinya, bertingkah aneh, "Apa kau berencana untuk masak?"

"Hm."

Bibir Grandmaster melengkung, "Karena kau akan memasak, tolong lebihkan aku, ya?"

"Hm."

Sang Kaisar menuju ke dapur setelah Grandmaster tidak berkata-kata lagi. Apa yang di dengarnya ketika memasuki dapur adalah tawa lembut Grandmaster, secara tidak sadar sudut bibirnya melengkung dan dia memilih bahan-bahan, mulai memasak.

Satu jam kemudian, melihat Grandmaster menupang dagu di atas meja, memandang penuh harap ke pintu dapur istana.

Melihat Kaisar Dewa Sastra muncul dengan membawa napan, punggungnya lurus, "Kelihatannya enak. Apa jenis masakan mu ini?"

"Tiga macam olahan daging. Jenis sayuran hijau. Bebek Peking. Teh hijau dan salad buah." Membawa itu semua ke depan Grandmaster, Kaisar Dewa Sastra duduk di bangku usai menata semuanya.

[End] Ancestral God of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang