BAB 17 : Rasa Yang Terlalu Mengejutkan

970 161 13
                                    

Wei YuanDao yang patuh dengan kuas di tangannya, terus mengores kata demi kata. Puisi cinta itu perlahan memenuhi ruang kosong demi ruang kosong yang panjang.

Para penglihat puisi cinta pun merasakan mulut mereka berkedut. Sepanjang tulisan cantik yang telah selesai dibuat, menghasilkan bait puisi yang mengesankan.

Kaisar Dewa Sastra secara tidak sadar berdiri di samping kursi Wei YuanDao, menyeret pangkal gulungan itu dan menghadapkan bagian yang kosong ke kuas tinta Wei YuanDao.

Kuas tinta itu terus mengalir, menuliskan baik puisi cinta yang seolah seorang Dewa sedang jatuh cinta dan memuji seorang Dewi dengan penuh kekaguman.

Di sepertiga gulungan kosong yang tertinggal, Dewa Jingyi yang merasakan bibirnya berkedut dan wajahnya memerah, tidak sanggup lagi menahan pertanyaan yang bersarang dalam kepalanya, "Yang Mulia.... bagaimana anda tahu bila gulungan yang hilang itu berisi puisi cinta?"

Saat sebelumnya dia berbicara dengan Dewa Yuan, sangat yakin tidak mengatakan seperti apa isi gulungan itu, kecuali hanya mengatakan kata-kata privasi.

Secara tidak langsung menyadari bahwa Dewa Kecil ini mungkin saja mengambil gulungan itu dan membacanya.

Menyadari mungkin saja Dewa Jingyi berpikir seperti itu, Wei YuanDao mengangkat kuas tintanya, berhenti menulis ketika dia melihat Dewa Jingyi dengan malas, "Kaisar Dewa Sastra yang mengambil. Saya hanya membacanya bersama Kaisar."

Dewa Jingyi merasakan sebuah gunung meletus di matanya, kobaran merah menyala di pipinya yang lembut dan muda.

Tidak disangka bahwa Pemimpin Dewa Sastra dan Dewa Kecil ini telah membaca isinya. Puisi itu adalah..

Seketika dia tercengang, "Tetapi puisi itu sedikit...."

Suaranya tersedak. Tidak mungkin dia bisa menulis puisi begitu baik. Sebenarnya puisi yang dia tulis adalah..

"Vulgar bukan?" Wei YuanDao mengangkat dagunya. Sepasang netra merah itu menatap Dewa Jingyi dengan tatapan malas, "Saya membantu anda menulis puisi, karena gulungan yang anda tanyakan sudah saya bakar."

Saya bakar!?

Gulungannya sudah dibakar!

Seketika Dewa Jingyi merasakan tulang punggungnya menghitam seolah digoroti semut kehidupan dan membuat nyawanya seakan ditelan oleh Dewa Kematian.

Dewa Kecil ini cukup kejam. Gulungan milik orang lain tidak merasa keberatan membakarnya. Entah kenapa dia sedang melihat Grandmaster Dewa kematian yang bertopeng mengancungkan sabit hitam padanya.

Dewa Yuan di sisinya juga merasakan tulang lehernya tegang, dia tidak bisa menoleh dari melihat Dewa Kecil itu yang setelah mengatakan sudah saya bakar, yang kembali menulis, menyelesaikan puisi cinta.

Apakah ada Dewa yang memiliki kekuasaan keras dan merampas kebahagian orang?

Tidak! Dia merasa itu hanya dimiliki oleh Grandmaster Dewa Kematian.

Lantas dia melihat Dewa Kecil yang cantik dan mempersona itu dengan seksama, entah kenapa menghubungkannya dengan Grandmaster...

Ataukah sudah ada Dewa Kematian yang baru terlahir?

Dia tidak bisa menjawabnya. Kuas tinta itu telah mencapai bait puisi terakhir dan segera kuasnya ditaruh di wadah tinta.

Dewa kecil itu mengamati hasil karyanya sebentar sebelum membuka tautan bibirnya, "Sudah selesai. Sekalipun cukup berbeda dari puisi yang saya bakar, tetapi ini masih mengandung unsur rayuan, kata-kata yang sopan, serta memiliki konsep yang ilmiah. Dewa Perang, silakan disimpan. Tetapi sebelum itu tolong kembalikan gulungan yang seharusnya anda dapatkan dari Kaisar Dewa Agung."

[End] Ancestral God of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang