BAB 01 : Grandmaster Dewa Kematian

3.7K 346 37
                                    


Pohon langit.

Itu berada di antara alam surgawi dan alam fana.

Setiap hari seorang dewa akan berdiri di bawahnya dengan tangan terbuka, menantikan daun-daun yang berguguran jatuh ke tangannya. Setiap hari dia akan menerima lebih banyak dari seribu lembar guguran dan ketika mencapai daun terakhir, tangannya terkatup.

Kilauan cahaya hitam bersinar di antara jarinya yang ramping dan panjang. Dia ternengadah untuk melihat dedaunan pohon langit yang terlalu rimbun, sampai kapan dia akan berada di posisi ini?

Seribu tahun yang lalu, dia pernah mengatakan hal ini dan berbicara di balai rapat untuk pengunduran diri. Seorang Kaisar Dewa Agung hadir untuknya, berbicara 'bertahanlah seribu tahun selanjutnya sampai Dewa kematian baru terlahir'.

Itu bohong!

Ketika dia berbicara di akhir hari, kata-kata yang sama terulang kembali.

Perlahan cahaya hitam di tangannya mempertontonkan serangkain nama manusia; tua, muda, lelaki atau pun perempuan, tercatat sesuai urutan waktu kematian lebih dahulu.

Dia tidak perlu repot untuk banyak nama calon yang mati, cukup mengamati dari jauh dan dia dapat menyaksikan roh-roh yang terbang ke gerbang Alam Roh.

Bila seorang roh bermasalah, dia akan menginjakkan kaki di alam fana untuk menyelesaikan permasalahan yang datang.

Sabit Hitam melayang keluar. Bilah keperakannya memancarkan sepasang bola mata merah kental. Wajahnya oval, cantik dengan alis tajam yang melengkung halus.

Rambut panjangnya diikat sepasang pita merah dan aksesoris tambahan mutiara merah terpaut erat di pinggir rambutnya. Angin yang lalu melekarkan jubah borkat merah yang disulam benang perak.

Untuk tataan terakhir kali, dia lebih suka memiliki pakaian berkabung dengan warna hitam mencolok dan mutiara hitam di atas rambutnya. Setelah penolakan kedua kali pengunduran dirinya, susunan tampilannya di arahkan pada cawan darah yang menyilaukan.

Terakhir kali dia berada di balai pertemuan Dewa Sastra, semua mata akan tertuju pada pintu masuk. Di balik topeng darah yang di kenangkan nya, itu tidak menyulutkan Dewa-Dewa Sastra untuk mengunggulinya menjadi yang teratas. Berharap di kemudian hari menjadi bagian dari kecantikan itu.

Topeng darah di kenangkan nya kembali, menjadi Dewa Kematian yang ditakutan penduduk fana.

Sabit Hitam nya di ayunkan tiga kali ketika dia melompat ke Alam Fana. Siap untuk menjalankan tugas.

Setiap hari akan seperti itu. Kehidupan monoton yang terlalu mengerikan. Dia pernah bertanya pada Kaisar Dewa Agung, kenapa tidak ada Dewa Kematian baru yang terlahir?

Jawaban yang didapatkannya hanyalah garis takdir untuk calon Dewa Kematian belum tertulis.

Jawaban yang sangat umum.

Dia marah!

Bukankah hanya bekerja ketika pohon langit menggugurkan daun? Kemudian mengayunkan sabit untuk nama-nama yang tersusun di lembaran daun yang bermasalah? Apa sulitnya?!

Kaisar Dewa Agung tersenyum padanya, menjawab dengan kata-kata yang lembut 'memang mudah, tetapi dewa yang bertugas harus kandidat yang setara dengan Kaisar Dewa Istana'.

Sulit!

Setiap Kaisar Dewa Istana di angkat setidaknya berumur seribu tahun. Sampai sekarang belum ada dewa yang terlahir dengan kemampuan dewa kematian, apalagi yang berumur ribuan tahun.

Kaisar Dewa Agung mempertahankan Dewa Kematian di tugasnya dengan bermacam-macam hadiah. Contohnya dia bisa menemukan Kaisar Dewa Sastra hanya lewat panggilan tiga kali atau mendapatkan bantuan Kaisar Dewa Perang hanya dengan sekali ayunan tangan.

[End] Ancestral God of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang