BAB 24 : Alam Roh (3)

717 151 49
                                    

Penduduk alam neraka itu tampak marah, "Oh! Seakan kau saja yang tidak berada di alam mu! Lihat sekarang kau berada di alam roh dan manusia seharusnya tidak berada di sini."

Mendengar manusia fana berbicara seperti itu, Ratu memiliki firasat aneh, bukankah keberadaan penduduk neraka belum disebar dan dari mana cultivator itu tahu?

Sepertinya identitas cultivator ini tidak sederhana!

Apa peramal itu tidak salah meramal?

Mungkin saja memang tamu besar tetapi bukan dari dewa yang memiliki otoritas tiga alam.

Ratu tidak beranjak dari tempatnya, mengamati lebih lama.

Tampak penduduk dari alam neraka itu tidak menyerah. Suaranya semakin keras, "Kau manusia fana, hebat juga! Tetapi derajatmu lebih rendah dari alam neraka! Seharusnya kau lenyap dari alam ini?!"

Dia mendapatkan pedang kedua di tangan kirinya dan menyerang Kaisar Dewa Sastra, serangannya lebih bruntal.

Setiap kali pedang di ayunkan, cacian keluar dari bibirnya. Kebanyakan penduduk alam roh tidak sanggup mendengar atau melihat pertarungan lebih lama.

Banyak dari mereka yang memilih bubar dan masuk ke kediaman masing-masing.

Malam cukup larut, jadi menteri ratu akhirnya berbicara, "Bila terus seperti ini akan membuat keributan dan membuat istirhat roh terganggu. Yang Mulia Ratu, mungkin ini saatnya kita mengusirnya ke lubang cacing."

"Itu benar."

"Jenderal. Tolong selesaikan ...."

Gelegar!

Seketika guntur melintang-lintang dari puncak langit. Awan gelap menutupi purnama yang sedang bersinar. Cahaya merah muncul dari aurora aneh dari timur, mengirim hawa dingin ke alam roh.

"Apa ini tamu yang dikatakan peramal?"

Menteri menjawab, "Kita belum bisa menentukan sebelum melihatnya, Yang Mulia Ratu."

Mata ratu tidak berpaling dari melihat aurora merah darah itu.

Ketika angin dingin yang dikirimkannya berhenti, segera digantikan energi batin yang menyeramkan dan menakutkan, membuat tulang-tulang punggung penduduk alam roh menggigil.

Penduduk dari alam neraka yang melihat itu seakan mati berdiri, dia menjadi patung yang tertancap di tanah, tidak mampu lagi bertarung.

Saat Kaisar Dewa Sastra merasakan hawa yang akrab ini, tatapannya melembut dan merunduk, melihat tanah. Ujung sepatunya menggiling batu kecil dan memainkannya ketika bibirnya mengumamkan satu kata.

Grandmaster..

"Apa kita akan memberi sambutan, yang Mulia Ratu?"

"Kita lihat dulu apa Dewa itu akan tinggal."

"Baiklah."

Saat kata menteri ini jatuh, aurora itu telah digantikan dengan gerbang merah darah. Ukiran gerbang itu menyihir setiap mata memandang dan terpaku di tempat.

Selama ini, gerbang yang pernah terlihat di alam roh adalah gerbang hitam dengan dua tiang menjulang tinggi dan asap mengepul sepanjang tiangnya, serta memiliki banyak pintu.

Saat penduduk alam roh tersisa melihat ini, tidak bisa bila tidak mendecakan lidah dan kagum tertinggi di ungkapan di kepala mereka.

Begitu gerbangnya dibuka, lapisan kain brokat abadi melekar ke belakang dan melaju saat sabit hitam terus melayang.

Seorang Grandmaster Dewa Kematian memasuki alam roh. Tubuh abadinya yang memilik topeng darah, roh-roh tidak dapat melihat keindahan yang disajikan ini secara sempurna.

[End] Ancestral God of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang