Robbanâ-nfa'nâ bimâ 'allamtanâRobbi 'allimnâl-ladzî yanfa'unâ
Robbi faqqihnâ wa faqqih ahlanâ
Wa qorôbâtin lanâ fî dîninâ
Doa khatmil jalsah sudah berganti suara ricuh para santri. Saling berebut untuk keluar lebih dulu dari kelas.
"Gus Zuhayr lewat!" Teriak mereka heboh. Rela berdesakan hanya untuk melihat punggungnya.
Gus Zuhayr merupakan putra mahkota pesantren ini. Ia baru kembali dari Yaman. Setahuku, bukan, lebih tepatnya aku tahu dari Afisa, bahwa Gus Zuhayr menempuh S1 di Mesir kemudian berpindah ke Yaman untuk melanjutkan S2 nya.
"Nasya iihhh kamu ga pengen tahu sama Gus Zuhayr?" Tanyanya heboh.
Ia ikut berkerumun tadi, hingga kembali menyusul ku yang masih di kelas.
"Buat apa?" Jawabku yang menata kitab untuk kembali ke kamar.
"Ga asik ah!"
"Balik kamar aja lah" ucapku menarik tangannya keluar kelas.
"Tahu ga? Gus Zuhayr uda diterima jadi dosen di salah satu universitas negeri di sini. Keren banget kan? Udah lulusan Kairo, lulusan Yaman, pulang-pulang diterima jadi dosen. Ganteng, murah senyum, agamanya top markotop. Suami able banget. YaAllah jodohkan hamba dengannya" Afisa masih tak berhenti mengoceh.
Bahkan kami sudah ada di kamar. Aku memilih diam tak menanggapi sedikitpun.
"Nasya kebiasaan deh, aku udah cerita panjang kali lebar kali tinggi tapi tak ditanggapi sama sekali. Sakit tau" ucapnya dramatis.
"Aku Gatau mau nanggepi gimana"
"YaAllah kenapa nasib hamba gini banget... Punya sahabat cueknya ga ketulungan" protesnya greget.
Aku memilih tak bergeming. Terus melanjutkan kegiatan melipat baju-baju yang sudah ku cuci pagi tadi.
Kamar yang berisikan 25 anak ini sekarang nampak sepi. Hanya ada aku dan Afisa di dalamnya. Entah apa yang mereka lakukan di luar sana. Aku memang lebih suka diam di kamar jika tak ada kegiatan.
"Assalamualaikum, mbak Nasya ditimbali Ning Fariha teng kantor pengurus" ucap salah satu adik kelasku membuka pintu kamar yang kebetulan satu garis lurus dengan ku. (Mbak Nasya di panggil Ning Fariha di kantor pengurus)
"Waalaikumussalam, Oalah iya makasih Kia" Aku segera mengambil kerudung di pintu lemari.
"Kamu ikut ngga?" Tanyaku pada Afisa.
"Ngga ah, yang dipanggil kan kamu"
"Yaudah aku pergi, assalamualaikum" ucapku meninggalkan kamar.
Saat ini masih pukul delapan malam, wajar jika area pesantren masih ramai. Ada yang belajar, nderes, makan, bahkan ngerumpi.
Ah, tak terasa sudah enam tahun aku disini. Hanya hitungan hari aku akan meninggalkan tempat ini. Banyak sekali kenangan yang mungkin tak akan terulang. Kebersamaan, keceriaan, hingga kesedihan.
Langkah kakiku terhenti di depan pintu triplek berwarna biru. Sedikit ragu untuk mengucapkan salam. Ceklek! Suara pintu terbuka membuat ku kaget.
"Oh, Afwan!" Ucap sosok laki-laki yang muncul dari balik pintu. Aku hanya menganggukkan kepala, tak ingin tahu siapa yang berhadapan dengan ku. Kemudian ia sedikit menepi untuk mempersilakan masuk. (Maaf)
Aku berjalan sedikit menundukkan badan dihadapannya. Meskipun aku tak tahu siapa dia, tapi aku yakin dia juga salah satu asatidz disini.
"Assalamualaikum Ning" ucapku sembari menyalaminya.
"Waalaikumussalam, silakan duduk Nasy" jawabnya mempersilakan ku.
"Sampean ngapain disitu? Katanya mau pulang?" Ucap Ning Fariha pada sosok laki-laki tadi.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu tertutup. Aku masih menunduk dihadapan Ning Fariha, tak berani menatapnya. Bukan takut karena telah melakukan kesalahan, namun rasa sungkan saat berhadapan dengan asatidz seperti ini selalu aku rasakan.
Ning Fariha merupakan putri pertama dari kiyai Ma'sum dan Bunyai Rif'ah. Ning Fariha ini sudah menikah sejak tiga tahun lalu dan memiliki seorang putra yang masih berumur satu tahun setengah.
"Saya mau tanya, sampean rencananya mau melanjutkan kuliah nopo Mboten?"
"Mboten semerap, Tasik ngerantosi keputusan Abuya Kulo" (tidak tahu, saya masih menunggu keputusan dari Abuya"
"Loh teruse mpun ajenge boyong?" (Katanya sudah mau pindah?)
"Hehe nggih Insyaallah Ning"
"Wes ora betah ta teng mriki?" (Sudah tidak betah kah di sini?)
"Sanes ngoten, sudah perintah dari Buya ngoten Ning" (bukan seperti itu)
"Walah-walah sampean nurut temen nggih" aku hanya tersenyum menanggapi. (Wah kamu penurut ya"
"Wonten salam dugi Abah. Menawi sampean kerso, ajenge didaftaraken beasiswa teng Mesir" tutur Ning Fariha membuat ku terperangah. (Ada salam dari Abah, jika kamu mau, akan didaftarkan Beasiswa ke Mesir)
"Kenapa saya Ning?" Tanyaku lesu.
Siapa yang tak ingin menuntut ilmu di negeri itu. Hanya saja akan berat jika Ummuya mengijinkan. Jangankan ke Mesir, mondok di luar kota aja tak mendapatkan izin. Saat lulus sekolah dasar aku meminta untuk mondok di luar kota, namun alasan Muya ketika itu,
"Sampean Tasik alit nduk. Nyuci rasukane Dewe Yo urung iso. Lak teng luar kota, Muya angel ajenge nyambangi" (kamu masih kecil nak, mencuci baju sendiri saja masih belum bisa. Kalau di luar kota, Muya bakal susah menjenguk)
ketika lulus sekolah menengah, aku kembali mengutarakan keinginan ku. Lagi-lagi dibantah, bukan Muya, melainkan Buya. Alasan Buya ketika itu,
"Cari ilmu itu dimanapun sama, tergantung kita nyerapnya gimana. Di maksimalkan dulu di satu tempat, baru pindah ke tempat lain. Sak panggen ae urung entek wis arep pindah" (satu tempat saja belum habis sudah mau pindah)
Entahlah, aku tak bisa membantah sedikitpun. Meskipun dalam hati terkadang ingin seperti mereka yang mampu memilih pilihannya. Namun apalah daya, bagiku orang tua adalah segalanya. Mereka akan memutuskan sesuatu pasti dengan banyak pertimbangan, berbeda dengan kita yang hanya berpikir dangkal. Apapun keputusan orang tua ku, aku menurutinya. Aku yakin itu yang terbaik untuk ku.
"Jika Abah memilih sampean, itu artinya Abah yakin jika sampean mampu akan hal itu" jawab Ning Fariha.
"Insyaallah Abah akan membantu berbicara kepada kedua orang tua sampean, jika itu yang sampean takutkan".
Aku masih diam.
"Sampean pikir-pikir aja dulu nggih. Sudah sekarang balik ke kamar saja, sudah malam"
"Nggih Ning, matur nuwun" ucapku kemudian menyalaminya dan keluar dari ruangan itu.
Aku kembali ke kamar, sudah ada beberapa temanku disana. Mereka menggelar kasur lantai untuk persiapan tidur. Ya, pondok pesantren di sini masih bisa dibilang bukan pondok pesantren modern. Tak ada kipas bahkan dipan yang di sediakan. Kami tidur beralaskan kasur lantai yang tipis.
"Kalian tahu Afisa ga?" Tanyaku pada teman-temanku yang menata kasur itu.
"Kurang tahu, tadi aku liat dia keluar kamar" jawab Ica.
"Oalah makasih ya" jawabku kemudian memutuskan untuk pergi ke kamar mandi.
Usai dari kamar mandi aku memutuskan untuk tidur. Kamar juga sudah mulai ramai, sebagian dari penghuninya sudah kembali. Namun tidak dengan Afisa. Ah, biarkan saja. Pasti sebentar lagi dia akan kembali. Sebab bel tidur sepuluh menit lagi akan berbunyi.
Ya, seperti itu. Walaupun hanya tidur, semuanya di atur. Hal ini bertujuan untuk mengontrol kesehatan santri dengan pola tidur yang teratur. Setelah menemukan tempat yang tepat akhirnya mata ini terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas