Mobil silver ini sudah memasuki kawasan pertokoan yang cukup ramai. Ya, untuk cabang rumah makan Muya kali ini tak seperti biasanya. Bukan menyewa atau membeli ruko, melainkan Muya memilih salah satu pusat perbelanjaan di kota.
Ingin mencoba hal baru, kata Muya. Entahlah sudah ada berapa cabang rumah makan Muya ini, aku tak tahu.
Kata Muya, rumah makan ini dibangun sejak Muya masih belum menikah bersama dua sahabatnya. Alhamdulillah berkembang cukup pesat hingga saat ini.
Aku dan Muya turun dari mobil setelah Muya memberi sedikit wejangan untuk kang Salim yang mengantar kami. Kali ini masih suasana grand opening rumah makan Muya. Alhamdulillah cukup ramai pengunjungnya.
Aku memilih duduk di salah satu kursi pengunjung, tak niat ikut Muya yang menyapa pengunjung. Disini juga ada Tante Iro dan Tante Diyah, sahabat Muya. Mereka juga sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Kapan pulang nduk?" Tanya tiba-tiba Tante Diyah menghampiri ku yang sedang membaca novel.
"Baru kemarin te" jawabku sembari menyalaminya.
"Liburan ta? Atau wes boyong? Kan sampean sudah lulus nggih" aku mengangguk tersenyum.
"Arep rabi ta?" Aku tersenyum nanar, (mau nikah kah?)
pertanyaan Tante Diyah mengingatkan ku pada percakapan dengan Buya tadi pagi.
"Gimana?" Tanya Buya sambil menyesap kopinya.
"Kenapa harus menikah Buy?" Tanyaku lirih.
"Tak harus ada alasan untuk menikah nduk. Bukan karena Buya sudah lelah mendidik dan merawat mu. Bahkan sampai kapanpun Buya tak kan merasa rela melepas mu. Semua ini sudah menjadi ketetapan-Nya. Sekeras apapun kita menolak, tetap saja takdir itu akan kita hadapi. Yakinlah ini semua takdir yang terbaik dari Allah"
"Khalwa belum siap Buy"
"Nduk, kalau berbicara tentang siap atau tidak, sampai kapanpun tidak akan siap. Sebab kita tau pernikahan bukan hal yang mudah. Bukan hanya menyangkut kebahagiaan yang seperti diceritakan banyak orang. Pernikahan itu ibadah terpanjang dan tersulit. Selagi ikhlas menjalani, insyaallah Allah akan mempermudah segalanya"
"Tapi Khalwa takut... Khalwa belum bisa seperti Muya yang selalu berbakti pada Buya. Khalwa belum bisa berpikir dewasa.. Khalwa..."
"Shut" potong Buya.
"Apakah kamu meragukan kekuasaan-Nya? Yakinlah Allah selalu bersama mu. Jangan lupa untuk selalu melibatkan Allah dalam segala hal. Maaf jika dalam hal ini Buya terlalu memaksa. Buya harap kamu bisa ikhlas menerima. Yakinlah sampai kapanpun kamu tetap putri kecil Buya".
"Khalwa kamu kenapa? Tante salah bicara ya?" Tanya khawatir Tante Diyah membuat ku sadar dari lamunanku.
"Oh mboten kok Tante" jawabku tersenyum miris.
"Kamu sakit ya? Istirahat di kantor saja nduk"
"Khalwa tidak apa-apa kok Tante" jawabku seadanya.
Tak lama kemudian Tante Iro dan Muya menghampiri kami berdua. Aku beranjak menyalami Tante Iro.
"Wajahe kok lungset eram, kaya gombalan ra disetrika" ujar Tante Iro kemudian duduk di sampingku. (Wajahnya kok kusut banget, kaya cucian belum disetrika)
Aku hanya tersenyum canggung. Untung saja Tante Iro tak bertanya lebih lanjut. Setelah banyak bercerita dan bercanda, tak terasa waktu dua jam yang kami habiskan. Sekitar pukul satu siang Buya datang menjemput ku dan Muya. Memang kang santri yang mengantar kami tadi langsung pulang sebab ada urusan lain.
***
Aku merasakan ketegangan antara Muya dan Buya. Selama perjalanan menuju rumah jiddah, Muya diam tak berkata apapun. Bahkan saat Buya sampai di kafe tadi.
Begitu pun saat tiba di rumah jiddah. Meskipun demikian, Muya dan Buya tak terlihat seperti sedang bermarahan. Muya dengan telaten mengurusi Buya. Hanya ada beberapa hal yang sedikit berubah, dan itu hanya orang terdekatnya yang menyadari.
Aku memilih membantu mbak Rahma yang merupakan istri bang Key sepupuku. Setiap datang ke rumah jiddah, makan adalah hal yang tak boleh terlewatkan. Jiddah akan sangat sedih sekali jika Muya menolak.
"Mbak, bang Key Uda pulang?"
"Belum, biasanya tarlagi baru Dateng"
"Ga nyesel mbak nikah sama bang Key?"
"Nyesel ga nyesel harus terima Wa, namanya jodoh. Haha kamu aneh-aneh aja"
"Yang ada mbakmu ini bersyukur dapet jodohnya itu Abang" tiba-tiba suara bang Key dari pintu tengah menghampiri mbak Rahma kemudian menciumnya.
"Ohhh tidakkkkk.... Kesucian mataku ternodai" teriakku heboh.
"Semprulmu" umpat bang Key yang juga menarik hijabku.
"Iih bang, rusak tau hijabku"
"lagian kamu, sok sok ternodai lawong tarlagi arep rabi" seketika ucapan bang Key membuat ku menegang.
"Ngawur ae jenengan mas" (asal-asalan aja kamu)
"Bener neng, Lawong ammah kaliyan ammi yang ngasih tau jiddah barusan"
"Bener Wa?" Tanya mbak Rahma yang masih tak percaya.
"Gatau" jawabku malas.
"Loh piye, calone malah Ra ngerti" (lah gimana, calonnya malah ga tau)
"Calon calon! Calonca'an?" Jawabku sambil tertawa. (Calonca'an=berloncat-loncat. Asal kata bahasa Madura)
"Malih guyon, sampun toh mas, jenengan siram riyin mawon, kecut! Kulo mboten tahan" ucap mbak Rahma sambil memicingkan hidungnya dan mengusir bang Key semakin membuat ku tertawa. (Jadi bergurau, sudah lah mas, kamu mandi aja dulu, asem! Saya tidak tahan)
"Kecut kecut ngene lak sampean seneng neng" (asem asem gini juga kamu suka banget)
"Dasar buceeennnnnn!!!!!" Teriakku membuat bang Key berlari melihat mbak Rahma mengacungkan pisau ditangannya.
Saat semua makanan sudah selesai disiapkan, mbak Rahma kembali ke kamarnya. Sebab bang Key berteriak minta di ambilkan handuk. Heran deh, gimana ceritanya orang mandi ga bawa handuk. Aku memilih duduk bersama jiddah di ruang tamu.
"Nginep ya nduk!"
"Boleh?" Tanyaku pada Muya.
"Loh besok kan mau bimbingan" jawab Buya.
"Lusa aja ya buy!" Tawarku.
Kulihat Muya mengisyaratkan untuk mengizinkan ku.
"Eeem iya boleh, tapi besok tetep bimbingan"
"Yahh Buy, kan palingan Khalwa pulang sore"
"Ya Gapapa, biar si Kahfi besok kesini. Sekalian dia yang nganterin kamu pulang" ooo jadi namanya Kahfi. Kok bisa sih aku baru tahu ke calonku. Ganteng ga ya? Astaghfirullah! Ah iya, buat apa juga kepo. Biarlah waktu yang menjawab.
"Loh Buy! Kan bukan mahram"
"Iya Khalwa, Buya paham. Besok dia bawa sopir kok. Lagian dia pasti paham ga kira ngapa-ngapain kamu, meskipun calon suami kamu"
"Yakali buy, godaan setan sangatlah kejam"
"Palingan ya kamu yang bakal aneh-aneh. Jangan aneh-aneh kamu besok"
"Astaghfirullah Buya! Suudzan banget sama anaknya"
"Haduhhh weslah tak mangan ae luweh" ucap Muya beranjak dari duduknya. (Sudahlah aku makan saja, lapar)
Membuat ku tertawa. Ya meskipun aku masih belum mampu menerima perjodohan ini, setidaknya aku tidak terlihat sedih karenanya. Cukup aku saja yang merasakan kesedihannya. Aku tak mampu jika terus-terusan melihat Buya dan Muya perang dingin akibat mempermasalahkan perjodohan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas