12. Ikhlas

1.8K 146 3
                                    

Sudah satu Minggu aku tak bertemu dengan Buya. Entah aku masih merasa marah kepada beliau. Aku tau apa yang aku perbuat sangatlah salah. Aku masih butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.

Selama itu aku tak tinggal di ndalem. Aku tinggal di kamar mbak Siti. Kembali ke ndalem hanya untuk mengambil beberapa barangku.

Aku masih bimbingan dengan Gus Zuhayr. Dalam seminggu ini sudah ada tiga pertemuan. Kami belajar di gazebo samping ndalem. Tentunya ditemani oleh kang Ari. Aku terkadang juga meminta mbak Siti untuk menemani.

Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Terkadang aku ingin menerima semua keputusan Buya. Tapi entah mengapa selalu banyak alasan yang terngiang menjadikan ku ragu.

Aku menerima kehadiran Gus Zuhayr. Terlebih jika kita benar-benar berjodoh. Ku rasa hidupku akan bahagia. Mendapatkan seorang suami sebaik dia.

Tapi pikiranku selalu menolak. Aku tak ingin menikah semuda ini. Aku masih belum siap untuk berumah tangga.

Mungkin jika Buya menjodohkan ku tiga sampai lima tahun lagi aku akan menerimanya.

Kenapa harus sekarang?

Akhir-akhir ini aku sering merasa pusing. Entah apa yang terjadi pada diriku. Mungkin karena aku terlalu memikirkan hal ini.

Sepertinya aku memang harus mencoba menerima takdir ku. YaAllah maafkan hamba yang sempat tidak menerima takdir ini. Aku akan mencoba ikhlas.

"Assalamualaikum Ning, sepuntene ditimbali Bunyai teng ndalem" ucap salah satu mbak santri. (Mohon maaf Ning, dipanggil Bunyai dirumah)

Kebetulan aku sedang sendiri di kamar mbak Siti. Para penghuni kamar di sini sedang kegiatan masing-masing. Ada yang nyuci, mandi, dan yang lainnya.

"Nggih mbak, matur nuwun" jawabku. (Iya mbak terima kasih)

Aku mengambil kerudung instan kemudian pergi ke ndalem. Aku memilih masuk lewat pintu dapur. Terlihat dua mbak santri sedang menyiapkan hidangan. Tanpa ditebak sudah pasti ada tamu.

"Assalamualaikum, ada tamu mbak?"

"Waalaikumussalam Ning Khalwa. Nggih Ning"

"Siapa?"

"Bunyai Rif'ah Ning"

"Ya sudah biar saya aja yang bawa minumannya"

"Tapi Ning"

"Sudah gapapa, sampeyan kerjakan yang lain saja"

"Nggih Ning" aku mengambil nampan yang berisi teh dan makanan ringan itu.

Sebenarnya rada gugup untuk bertemu dengan Bunyai Rif'ah. Selain beliau Bunyai ku di pondok. Bunyai Rif'ah juga ibu dari Gus Zuhayr.

"Monggo diunjuk toyanipun Bunyai" ucapku mempersilahkan. (Silahkan diminum airnya Bunyai)

Sebelumnya aku sudah menyalaminya.

"Mriki mawon nduk" ucap Bunyai Rif'ah saat aku hendak ke dapur. (Disini saja nak)

Aku berpamitan hendak meletakkan terlebih dahulu.

"Loh nduk duduk di atas aja" ucap Bunyai Rif'ah saat aku kembali dan duduk di karpet.

"Kersane pun Bunyai, Kulo teng andap mawon" (Tidak apa-apa Bunyai, saya dibawah saja)

"Loh piye toh nduk?" (Lahh gimana nak?)

"Mboten nopo Bunyai" jawabku. (Tidak apa-apa Bunyai)

"Kok ga pernah main ke pondok nduk?" Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bunyai Rif'ah.

"Mahreen" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang