Kabar kehamilan ku tersebar begitu cepat. Muya dan Buya pun mengetahuinya di hari itu. Kebetulan Muya sedang mendampingi jamaah umroh bersama Buya menelfon ku sore itu.
"Apa kabar teh? Kok bibirnya pucat?" Tanya Muya khawatir.
"Gapapa muy, Khalwa baik-baik saja! Kemarin abis nguji kekuatan. Ternyata failed!"
"Abis ngapain kamu? jangan aneh-aneh deh teh! Gus, kalo dia nakal marahin aja! Kalo perlu jewer sekalian!" Titah Muya membuat mas Kahfi disamping ku menggaruk tengkuknya tak gatal.
"Orang mas Kahfi yang bawa Khalwa hujan-hujanan" Seruku tak terima.
"YaAllah! Kalian Iki wes gedhe! Ngapain hujan-hujanan?"
"Loh Muya ga ngerti anak muda! Yo mau romantisan!"
"Tapi ya ga membahayakan diri sendiri" aku dan mas Kahfi hanya terkekeh melihat perdebatan Muya dan Buya.
"Sek sek!" Mata Muya memicing. (Tunggu)
"Dinakas itu putih putih apa teh?" Aduh aku lupa tak menyimpannya.
"Mana muy?"
"Kuwi sebelah kiri mu!" Aku menoleh kearah kiri kemudian meringis pada Muya.
"Muya liat!"
"Nggih!" Ucapku mengambilnya. Kemudian menunjukkan pada Muya.
"Ojo diwalik Khalwa!" Tegas Muya membuat ku tertawa kemudian membaliknya. Muya membekap mulutnya tak percaya. Cairan bening mulai mengalir di pipinya. (Jangan dibalik Khalwa!)
"Buya! Kita mau punya cucu!" Ucap Muya gembira menyeka air matanya.
Semua orang sangat mengharapkan kehadirannya. Namun, entah aku masih berat untuk menerimanya.
"Gercep juga kamu Kaf! Dulu aja Muya perlu waktu tiga bulan ditaklukkan" Canda Buya yang mendapatkan pukulan halus dari Muya.
"Kan saya emang udah jadi pawangnya dari kecil Buya!" Seketika aku melirik mas Kahfi. Namun dia hanya tertawa bersama Buya.
"Minta oleh-oleh apa kamu teh?" Tawar Muya.
"Unta Arab" Candaku.
"Yang jalan sendiri kaya punya Faqih?" Tanya Muya heran.
"Bukan muy, yang bisa ditunggangi!"
"Yo tukuo Dewe!" Sahut Buya. (Ya beli sendiri)
"Lahh buy, ini keinginan calon cucu Buya!" Ucapku memelas.
Ya seperti itu kira-kira percakapan kami. Satu jam lebih kami habiskan untuk bercanda dan bercerita. Tentunya Muya tak lepas memberi petuah dari A hingga Z. Yang cukup di iyakan saja.
Ummi Rif'ah juga langsung mengadakan syukuran pada malam harinya. Semua santri berkumpul di aula kemudian mengaji bersama. Tidak lupa makan bersama setelahnya.
Beberapa hari itu, aku kebanjiran ucapan selamat. Bahkan di grup keluarga pun sudah ramai.
Keesokan harinya mas Kahfi membawa ku ke dokter kandungan, Alhamdulillah kondisinya baik-baik saja.
Mas Kahfi melarang ku untuk setiap hari datang ke rumah makan. Finally aku hanya mengontrol seminggu sekali.
Kehamilan ku ini semakin mengeratkan hubungan antara aku dan mas Kahfi. Mungkin bawaan dari cabang bayi.
Herannya, setiap pagi aku yang merasakan mual tapi mas Kahfi yang muntah. Aku yang ngidam, mas Kahfi yang makan. Entahlah, hanya melihat mas Kahfi makan begitu lahap ngidamku luntur dan kenyang seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
Ficțiune generală"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas