22. Kembulan

1.7K 126 4
                                    

Gadis kecil dengan hijab hijaunya tengah berlari mengejar suara yang ia dengar dari dalam rumahnya.

"Ning mau kemana?" Cegah anak remaja melihat putri kiyainya di depan gerbang.

"Pengen beli cilok!" Tunjuknya pada seorang penjual cilok yang berada di seberang jalan.

"Ning bawa uang?" Tanyanya lagi. Gadis kecil di hadapannya menunduk menggeleng.

"Muya ngga ada" ucapnya lesu.

"Ayo beli sama mas!" Ajaknya laki-laki itu.

Entahlah ia tak tega melihatnya. Ia yang masih berumur 13 tahun itu tak memerlukan waktu lama untuk membelikan ningnya sebungkus cilok. Gadis kecil itu yang menjadi alasan ia menuntut ilmu di sini.

"Mas ga beli?" Tanyanya.

"Mboten Ning, mas kenyang. Ayo mas antar Ning pulang ke ndalem!" Ajaknya menuntun gadis kecil itu.

"Ga mau!"

"Loh nanti Muyanya Ning nyariin"

"Tapi Ning mau main sama mas!"

"Oke, mas temenin main. Tapi kita duduk dulu buat makan ciloknya ya!"

Gadis kecil berumur 7 tahun itu pun mengangguk. Ia duduk manis sesekali menganga untuk menerima suapan cilok dari bocah remaja di depannya.

Sangat terlihat, anak laki-laki itu sangat menyayangi ningnya. Ia yang merupakan anak bungsu di keluarganya seolah menemukan sosok adik pada ningnya itu.

Tes!

Tes!

Tes!

Perlahan tapi pasti.

Tetesan air itu menghujani wajahku. Aku menggeliat mengusap wajah yang basah.

"Ning, ayo bangun sudah jam tiga lebih" sayup-sayup terdengar suara Gus Zuhayr.

Ah! Pasti ini ulahnya membasahi wajahku.

"Hmm" aku menyahut kemudian duduk dengan mata masih terpejam.

Ingatan ku kembali pada sosok gadis kecil yang tengah memakan cilok bersama bocah laki-laki. Ah! Nyatanya itu mimpi. Namun, aku merasa itu sangat nyata.

"Heh! Malah bengong! Ayo Selak subuh"

"Nggih Gus!" Jawabku beranjak menuju kamar mandi.

Sejak kepulangan dari Surabaya, hubungan ku dengan Gus Zuhayr baik-baik saja. Kami menjalankan tugas masing-masing. Aku yang semakin sibuk dengan Diniyah di asrama putri dan Gus Zuhayr yang sibuk dengan kampusnya.

Kami tak memiliki banyak waktu untuk bersama. Mungkin hanya saat tahajjud pagi tiba. Ya, Gus Zuhayr akan sering mengajar di kampusnya dari pagi hingga malam hari. Tak jarang ia pulang saat aku sudah terlelap. Namun, kami tak pernah melewatkan tahajud bersama di pagi hari.

Usai shalat tahajud aku dan Gus Zuhayr bergantian mengulang hafalan sembari menunggu adzan subuh.

"Kita jamaah disini saja ya!" Ucapnya sesaat sebelum adzan subuh.

Biasanya aku berjamaah di mushalla asrama putri sedangkan Gus Zuhayr berjamaah di masjid pusat.

"Nggih, Oiya Jenengan libur kan?"

"Maaf Ning, saya hari ini tidak bisa libur. Sebab ada rapat bersama pak dekan" Aku menghela napas.

"Kenapa?" Tanyanya heran.

"Mahreen" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang