Angin malam menerpa wajahku, menyamarkan bulir bening yang kembali mengalir. Entahlah kenapa sangat sulit sekali untuk menerima dengan ikhlas.
Ya seperti itulah rasa ikhlas saat kita rasakan. Namun, saat kita menasehati orang lain. Waaahh lancar sekali...
Tapi bagaimana kita mempraktekkannya?
Mampukah?
Tentu sulit.
Seperti apa ikhlas?
Secara teori, ikhlas yaitu melepas tanpa beban. Sebatas teori, mungkin sudah banyak orang yang menggenggam. Namun bagaimana untuk merealisasikan?
Tak semudah itu sayang!
Sebenarnya, kunci dalam melepas adalah beban. Saat beban itu sudah tak lagi dipikirkan, tak lagi diberatkan, dan tak lagi diunggulkan, ikhlas akan semakin mudah.
Tapi, semua itu butuh proses.
Seperti itulah kehidupan, setiap orang memiliki proses yang berbeda. Seberapa lama proses kita menuju ikhlas akan ada pelajaran berharga yang kita dapat.
Nahhkan aku udah mulai ga nyambung. Intinya seperti itu! Aku juga bingung apa yang aku bahas saat ini.
Maklum lah pikiran lagi keliling bikin pening aja.
"Khalwa! Tak cari ternyata ada disini"
"Hehe iya Jiddah, soalnya sudah lama ga kesini" jawabku saat tiba-tiba Jiddah menyusul ku.
Aku sedang berada di balkon kamar Muya. Sejak kecil inilah tempat favorit ku.
"Memangnya tadi Jiddah nyari Khalwa kemana?"
"Ke rumah depan. Jiddah kira kamu mengunjungi pak Dhe mu"
"Oiya Khalwa lupa ke rumah pak Dhe, besok saja sudah. Maaf nggih jiddah, Khalwa bikin Jiddah repot"
"Yo Ra Popo toh nduk! Kowe Iki putuku kok e" (ya tidak apa-apa nduk! Kamu ini cucuku)
"Jiddah mboten capek naik ke lantai dua?"
"Wahhh ngeremehin jiddah kamu! Gini-gini meskipun Uda berumur suruh ngangkat beras sekarung jiddah masih kuat loh"
"satu karungnya berapa kilo jiddah?"
"Lima kilo" seketika jawaban jiddah membuat ku tertawa.
Memanglah jiddah ku ini sangat beda. Aku akui, meskipun sudah berumur jiddah masih sehat. Setiap hari kamar Muya selalu beliau bersihkan. Padahal letaknya ada di lantai dua.
Bang Key sudah sempat melarang jiddah untuk membersihkannya setiap hari. Namun, bukan jiddah namanya kalau beliau tidak memaksakan kehendaknya. Hitung-hitung sambil olahraga, katanya.
"Nahh gitu ketawa.. dari nyampek jiddah ga ngeliat kamu ketawa selepas barusan"
"Heheh... Masuk yuk jiddah! Udah malem juga! Khalwa pengen tidur disini gapapa kan jiddah?"
"Yo gapapa toh nduk.... Asalkan besok pagi dirapikan lagi. Kasihanilah jiddah mu ini"
"Pasti kok itu jiddah, jiddah tidur sini juga ya! Sudah lama Khalwa ga tidur sama jiddah"
"Wes Gedhe kok sek jaluk dikancani" (sudah dewasa kok masih minta ditemani)
"Ya kan kalo Uda nikah, Khalwa ga bisa tidur sama jiddah"
"Alhamdulillah wes siap nikah"
"Yah ga gitu konsepnya jiddah! Taulah, Khalwa tidur" sahutku, membuat jiddah terkekeh pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas