Sosok gadis kecil terbaring lemah. Jahitan di kepalanya belum juga mengering. Mukanya pun masih basah akibat tangisnya beberapa saat lalu. Wajah sayunya membuat semua orang iba.
Teriakan yang mampu menggemparkan seluruh penjuru As-Syafi'iyah kini tak lagi terdengar. Tingkah lucu yang menjadi moodboster banyak orang kini tak lagi nampak.
Ia baru saja meraung-raung memanggil sosok ibunya. Ia tak lagi menjerit hanya meminta selembar uang untuk sebungkus cilok. Ia menangis histeris kesakitan yang kemudian dokter memberikan obat penenang kepadanya.
Musibah besar baru saja menimpa keluarga Kiyai Arham Mafiq. Kecelakaan pagi hari didepan pondok pesantren As-Syafi'iyah yang disebabkan oleh pengendara motor yang lalai.
Raut wajah lelah sangat kentara sekali. Peristiwa yang mengorbankan putri kesayangannya, istri tercintanya, bahkan calon bayi yang dinantinya.
Kecelakaan itu berlalu begitu cepat, tatkala sang putri ingin menyusul ibunya.
Keadaan sang putri kini memprihatinkan. Umurnya yang belum genap sembilan tahun itu, sudah pasti akan meninggalkan trauma besar.
Menurut diagnosa dokter, akibat cidera kepala yang dialaminya sang putri harus kehilangan beberapa memori dimasa lalu. Amnesia retrograde akan membuat sang putri kesusahan untuk mengingat kejadian yang belum lama dialami.
Calon bayi yang sudah ia nanti sejak delapan bulan yang lalu, mau tidak mau harus ia ikhlaskan. Benturan yang sangat keras mengenai punggung dan perut sang istri, membuat calon bayinya tak bisa diselamatkan. Sang istri kini sedang menjalani operasi untuk mengeluarkan bayinya.
"Bagaimana keadaan Arsyad mas?" Tanyanya mengenai putra bungsunya pada sang kakak ipar.
"Kamu tenang aja! Ummi sudah di pesantren jaga Arsyad! Pesantren juga sudah di ambil alih oleh Gus Ilham. Kamu fokus pada Khalwa dan Zafira. Yakinlah mereka wanita yang kuat" ucap Mirza, menepuk pundak Kiyai Arham.
"Terima kasih mas!" Ucapnya masih terlihat tegar. Tangis dari ruang UGD kembali terdengar membuat Kiyai Arham berlari menghampirinya.
"Muya! Hiks!"
"Kenapa sayang? Ada yang sakit?" Tanyanya memeluk sang putri.
"Tolongin Muya! Hiks! Tolongin Muya!" Ucapnya meraung dengan mata terpejam. Shalawat tak lepas ia lantunkan ditelinga sang putri.
"Darah! Darah!" Tiba-tiba sang putri mengamuk histeris.
Tak terasa bulir bening lolos dipipi Kiyai Arham. Sungguh ujian yang sangat berat menimpa keluarganya.
***
Pagi ini, aku terkulai lemas. Kemarin sore mas Kahfi kembali menjemput ku dengan motornya. Sayang, cuaca tak berpihak pada kami. Lima menit sebelum tiba di Miftahul Anwar, hujan deras mengguyur jalanan.
Mas Kahfi yang tak siap dengan mantel akhirnya merelakan tubuh kita diguyur hujan. Semalam badanku panas menggigil. Ummi sudah menceramahi mas Kahfi tiada henti.
Pagi tadi, demamku sudah turun. Namun, gejolak diperut membuat ku semakin terbaring lemah.
"Kita ke rumah sakit ya!" Tawar mas Kahfi setelah aku memuntahkan cairan untuk kesekian kalinya.
Aku menggeleng lemah. Mimpi kecelakaan itu menyerang ku hampir setiap hari membuat ku takut untuk menginjakkan kaki di rumah sakit.
Ah bukan! Lebih tepatnya setelah menjenguk Laila, kami berpapasan dengan korban kecelakaan. Dimana kondisinya sangat mengenaskan membuat ku kembali mengingat mimpi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas