Byurr!!!!
Seketika membuat mataku terjaga.
Terkejut?
Pasti!.
Aku masih belum beranjak dari posisi tidur ku. Aku menatapnya sinis, aku tak pernah tahu pada santri ini. Ah bukan, aku memang tak mengenal semua santri disini. Kecuali mbak Siti yang sering menemaniku juga mbak Syifa yang merupakan lurah pondok saat ini.
"Cepat wudhu! Sebentar lagi akan Iqamah" perintahnya.
Aku beranjak dari tidur kemudian merasakan sedikit pusing.
"Ga usah alay! Sok-sokan sakit pula" ucapnya ketika melihat ku menyentuh dahi.
"Astaghfirullah Ning!" Teriak mbak Siti dari arah pintu berlari.
"Jenengan mboten nopo?" Tanyanya khawatir.
"Arek salah kok Malih di lem" ucapnya jengah. (Anak salah kok malah di manja)
"Kamu ya! Kamu tau ini siapa?" Ucap mbak Siti menahan amarahnya.
"Sudah mbak, saya gapapa" ucapku memotong pembicaraannya.
"Mbak Siti, saya ga peduli dia siapa... Meskipun dia Ning pondok pesantren besar pun. Kita disini semua sama. Jadi, jangan sok-sokan" ucapnya malas.
"Meskipun beliau ini adalah Ning mu sendiri? Putri dari kiyai mu? Kemana tata Krama mu MALA!" teriak mbak Siti didepan mukanya memmbuat si Mala itu bergetar.
Aku juga terkejut, tak menyangka mbak Siti akan memberi tahu identitas ku.
"Sudah mbak, aku mau whudu. Aku gapapa kok! Mbak Siti sama mbak Mala ke mushalla dulu, kasihan para santri sudah menunggu. Mbak Siti gantiin Muya ya! Muya lagi halangan" ucapku kemudian meninggalkan mereka.
***
Usai kegiatan subuh, aku tak kembali ke ndalem. Aku memilih duduk di gazebo samping ndalem. Menikmati udara pagi yang menyejukkan hati.
Warna bunga-bunga yang juga menyegarkan mata. Suasana hatiku saat ini sudah lebih baik. Aku juga sudah memutuskan mengenai permintaan Buya kemarin. Mungkin setelah sarapan aku akan membicarakannya.
"Assalamualaikum Ning" seketika membuat ku berbalik badan.
"Waalaikumussalam, ohh mbak Siti sama mbak Mala? Mari duduk" ucap ku mempersilahkan.
Mala terlihat sangat ketakutan. Ingin sekali ku menertawakannya.
Bukan jahat sih... Tapi memang orang seperti dia harus dikasih pelajaran sesekali biar ga semena-mena. Pengurus bukan berarti berhak melakukan kekerasan, disini para santri seharusnya diayomi bukan malah dikerasi.
Aku memang sempat mendengar mengenai keresahan para santri atas sikapnya. Bagus sih.. cuma kurang tepat.
"Ada apa mbak?" Tanyaku.
Mbak Siti menyikut lengannya saat ia hanya menunduk.
"Em.. emm anu Ning, saya mau minta maaf" ucapnya gugup.
"Sudah mbak, lagian tadi salah saya juga"
"Sepuntene Ning, Kulo mboten semerep menawi Niku jenengan" (Maaf Ning, saya tidak tahu jika itu anda)
"Sudah berapa santri yang sampean gitukan?" Tanyaku membuatnya semakin menunduk.
Aku menunggu jawaban darinya yang tak kunjung terucap.
"Mbak Siti, apa Muya sudah tahu mengenai hal ini?"
"Sepertinya belum Ning"
"Apa semua pengurus berlaku demikian pada semua santri?" Mbak Siti dan Mala diam tak menjawab.
"Mbak sebenarnya ini bukan hak saya. Ini masih di bawah kuasa Muya. Tapi saya yakin Muya pasti kecewa jika para santri diberlakukan demikian oleh pengurus. Sebagai pengurus bukan berarti berhak melakukan hal apapun termasuk kekerasan. Melainkan kita harus mampu merangkul semua para santri, kita harus saling menyayangi. Tegas boleh, tapi jangan sampai melakukan kekerasan. Bukannya semua pelanggaran sudah ada sanksi yang disetujui Muya? Saya juga minta maaf terutama sama mbak Siti, tadi pagi sudah membuat kekacauan di kamar sampean. Sama mbak Mala juga saya minta maaf, tadi pagi saya bangunnya telat. Bisa kan mbak besok dan selanjutnya kalau membangunkan santri secara halus seperti yang diajarkan Muya?"
"Ng.. nggih Ning"
"Ga usah gerogi gitu kali mbak... Santai aja" ucapku tertawa ringan.
"Hehe nggih Ning" jawabnya yang masih canggung.
***
Kendaraan beroda empat ini, membelah keramaian kota. Teriknya sang Surya menemani perjalanan kami.
"Tadi subuh kok ga ada di kamar?" Tanya Muya memecah keheningan di dalam mobil.
"Numpang tidur di kamarnya mbak Siti" jawabku.
"Ga kena semprot mbak-mbak santri?"
"Bukan cuma kena semprot Muy, di siram sampek banjir kamarnya mbak Siti"
"Beneran?"
"Ya kali Khalwa bohong"
"Ya siapa tau, mentang-mentang kamu Ning, malah enak-enakan"
"Engga Muy, sama sekali engga. Tadi malam Khalwa gabisa tidur. Jam 3 baru tidur, minta bangunin subuh ke mbak siti. Eh tiba-tiba di siram"
"Kamu sih susah bangunnya"
"Taulah Muya gitu. Tapi Muy, Muya Uda tahu kan kalo santri diperlakukan seperti itu sama pengurus?" Muya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan ku.
"Tuhkan bener perkiraan Khalwa kalo Muya Uda tahu! Kenapa di biarin Muy?"
"Ga seru kalo gada pengurus yang kaya gitu" canda Muya
"Iiih Muya malah gitu!" Protesku membuat Muya terkekeh.
"Terus reaksi kamu gimana tadi?"
"Awalnya sih diem aja. Eh diem aja sampe akhir! Terus mbak Siti dateng, marahain si mbak pengurus itu"
"Muya Uda lama yg tahu, banyak juga yang protes, termasuk wali santri. Cuma Muya masih nunggu waktu yang tepat, bukan sih, Muya pingin mergokin langsung tapi ga pernah. Palingan pas keliling pagi cuma liat mbak-mbak santri yang lagi ngepel kamar"
"Tadi Mala minta maaf sama Khalwa. Ya kesel sih.. secara ga langsung dia minta maaf karena Khalwa ningnya"
"Terus?"
"Ya dimaafin"
"Yang tadi pagi di gazebo?" Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Emangnya ngomongin apa lagi? Keliatannya lama"
"Ya ga ada sih.. cuma Khalwa sedikit menegur dia. Hehe maaf ya Muy, Khalwa bertindak. Bukan apa.. Khalwa juga nyantri. Pernah ngerasain pahit manisnya jadi santri dan pengurus. Khalwa merasa ga terima aja jika santri diperlakukan seperti itu. Banyak mudharatnya"
"Wahh anaknya Muya udah dewasa ya.. Uda cocok jadi Bunyai"
"Males ah!" Keluhku menyenderkan kepala ke jendela mobil.
"Katanya sudah menerima? Inget calonmu juga putra kiyai"
"Iya Muy iya... Ah Khalwa mau tidur aja" ucapku malas sambil memejamkan mata.
Aku tak benar-benar tidur. Pikiran ku berkelana kemana-mana. Tadi pagi aku memberi keputusan kepada Buya. Menerima perjodohan itu dan kuliah di Mesir.
Entahlah akan seperti apa kehidupan ku nantinya. Sudah saatnya aku belajar dewasa. Jangan selalu bermanja-manja dengan orang tua. Memang meskipun aku anak pertama, tetapi bisa dibilang aku lebih manja daripada Arsyad.
Jalan takdir tak pernah ada yang tahu. Mungkin ini memang sudah ketetapan terbaik-Nya untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas