11. Alasan

1.8K 150 4
                                    

Suara adzan Dzuhur terdengar dari masjid utama. Aku melirik jam sekilas menunjukkan pukul 11.45, itu artinya sudah hampir dua jam aku berkutat dengan kertas dan pulpen di depan ku.

Gus Zuhayr dengan santai menyesap rokoknya. Ah tega sekali dia, memberiku soal balaghah yang sangat sulit. Aku memutar pulpen di tanganku.

Dugg!!

Pulpen itu seketika lepas dari tanganku.

"Allah!" Pekik Gus Zuhayr membuat ku ingin tertawa.

"Kamu sengaja?"

"Mboten!" Jawabku spontan. (Tidak)

"Ini apa?" Ucapnya menunjukkan pulpen yang mencium keningnya.

"Lohh kok ada di jenengan Gus? Pantas saja saya nyari ga ketemu. Mana, saya mau ngerjain!" Ucapku merampas pulpen itu.

Gus Zuhayr mengernyit bingung.

"Kamu shalat aja dulu, setelah itu dilanjutkan" ucap Gus Zuhayr kemudian beranjak dari tempat duduknya di susul oleh kang Ari.

Aku pun beranjak untuk shalat, ah rasanya pening kepala dibawa mikir dua jam. Mungkin usai shalat akan sedikit lebih fresh. Aku shalat sendiri di mushalla ndalem.

Saat hari aktif sekolah semua santri Shalat Dzuhur di masjid pusat. Oleh karena itu, di mushalla asrama putri tidak berjamaah. Malas sekali untuk pergi ke masjid pusat.

Bukan apa, masjid pusat terletak didepan ndalem, namun masih berjarak halaman yang cukup luas. Apalagi sekarang cuaca sangat terik sekali, oh tak kuasa aku berjalan di tengah halaman depan.

Alhamdulillah sejuk sekali rasanya. Usai shalat aku memilih tiduran sebentar tanpa melepas mukenah. Ah rasanya sangat nyaman. Ingin sekali aku memejamkan mata. Bolehlah sebentar, lagian di masjid pusat masih dizkiran. Setelah di masjid pusat selesai berjamaah aku akan beranjak dari sini.

***

"Khalwa!" Sayup-sayup teriakan Muya membangunkan ku.

Mataku masih terasa berat sekali. Oh tidak tanganku terasa kaku akibat ku jadikan bantal. Aku sedikit bergerak membenarkan posisi agar nyaman.

"Lah arek kuwi malih nandi seh!" Gerutu Muya yang masih terdengar olehku. (Anak itu kemana sih!)

Ah mulutku untuk menyahut rasanya masih terasa Kelu. Mataku masih sangat rapat, enggan untuk terbuka.

"Kersane Bunyai, menawi Mahreen tasik shalat" terdengar jelas suara Gus Zuhayr di luar. (Sudah Bunyai, mungkin Mahreen masih Shalat)

Oiya aku masih di mushalla, sepertinya Gus Zuhayr ada di ruang makan. Oh tidak, biarkanlah. Tidak mungkin juga aku keluar dari sini dengan muka bantal, bisa-bisa dia tertawa lagi.

"Loh Gus kok wes mantun dhahare?" (Kok sudah selesai makannya?)

"Nggih Bunyai, Niki sampun kenyang. Matur nuwun suguhanipun. Jenengan sampe repot-repot"  (iya Bunyai, ini sudah kenyang. Terima kasih atas suguhannya. Anda sampai repot)

"Mboten kok Gus mboten repot. Saya malah seneng. Sebentar ya tak nyari Khalwa ke asrama putri" (Tidak Gus, tidak repot)

"Mboten usah pun Bunyai. Kulo ajenge pamit riyin. Tasik wonten urusan. Salam mawon teng Mahreen" (Tidak usah Bunyai. Saya pamit dulu. Masih ada urusan. Salam saja pada Mahreen)

"Lohh Gus, ngken sekedap. Lagian belajarnya sudah ta?" (Tunggu sebentar Gus. Apakah belajarnya sudah selesai?)

"Mahreen" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang