"Maaf pak, dengan berat hati kami sampaikan, putri bapak mengalami amnesia retrograde, dimana ia kehilangan ingatannya dimasa kecil. Ia akan lupa terhadap hal-hal yang beberapa tahun ini lakukan. Ia juga mengalami trauma pada darah dan kecelakaan"
"Apa ada kemungkinan untuk sembuh dok?"
"Ada, namun mengingat usianya yang masih kecil akan susah membantunya untuk mengingat. Begitu juga dengan traumanya"
"Terima kasih dok" begitulah kira-kira percakapan antara dokter dengan Kiyai Arham.
Pikirannya sangat kalut. Sang istri baru saja selesai operasi. Calon bayinya dengan paras begitu cantik dan imut sudah dibawa oleh sang kakak ipar agar segera dimakamkan.
Mahveen Aileenal Firdaus, cahaya penerang surga. Begitulah nama yang disematkan pada putri bungsunya.
Kiyai Arham tak bisa ikut dalam pemakaman sang putri, sebab putri sulungnya dan sang istri sedang membutuhkannya. Semuanya ia percayakan pada sang kakak ipar dan adik kandungnya. Cobaan yang sungguh berat menimpa keluarganya.
"Buya kenapa nangis?" Tanya sang putri sulung disaat melihat setitik air mata dikelopak matanya.
"Engga, Buya ga nangis sayang. Kamu ada yang sakit? Atau ingin sesuatu?" Sang putri hanya menggelengkan kepalanya sebagai Jawaban.
"Muya kemana?" Tanyanya disaat ia tak melihat sosok ibunya
"Muya lagi sakit sayang"
"Muya sakit karena Khalwa nakal ya!" Ucapnya meneteskan air mata
"Engga sayang, Muya sakit sudah takdir Allah"
"Khalwa mau jenguk Muya!"
"Memangnya Khalwa kuat?" Tanya kiyai Arham yang mendapat anggukan antusias dari sang putri.
"Pakai kursi roda ya!" Titahnya menggendong sang putri menuju kursi roda.
Dengan perasaan campur aduk ia mendorong menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan sang istri dirawat. Terakhir, setelah sang istri keluar dari ruang operasi, ia masih dalam keadaan belum sadarkan diri akibat obat bius.
Saat ini, ia juga masih ditempatkan di ruang observasi sebelum pindah ke ruang rawat inap biasa.
Benar saja, saat kiyai Arham tiba bersama sang putri, sang istri sudah sadarkan diri. Tapi sayang, sang putri belum diperbolehkan untuk masuk. Ia hanya bisa melihat dari kaca jendela.
Sang istri tersenyum kepada mereka, tersenyum teduh. Senyum yang menenangkan, senyum yang setiap hari ia berikan kepada seluruh keluarganya.
Tak terasa cairan bening itu kembali lolos di pipi kiyai Arham namun ia halau secepat mungkin. Sebelum sang putri menyadarinya. Ia hanya mampu berdoa yang terbaik untuk dua bidadarinya itu.
***
Dengan berat aku kembali membuka mata. Aku mencoba mengingat hal terakhir yang aku lakukan. Ah iya! Sepertinya aku pingsan entah dimana.
Aku mengedarkan pandanganku. Ini kamarku di As-Syafi'iyah. Apakah aku ada di ndalem Buya? Aku juga merasakan ada kain basah di keningku. Ah sepertinya aku demam!
"Teteh! Alhamdulillah sudah sadar! Bagaimana keadaannya? Ada yang sakit?" Tanya Muya saat menyadari jika aku sudah membuka mata.
"Alhamdulillah demamnya sudah turun, makan dulu ya! Setelah itu minum obat!" Titah Muya mengambil semangkok bubur di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas