30. Dibalik hujan

1.7K 136 13
                                    

Satu hari setelah acara pernikahan ku dan mas Kahfi, kami kembali ke aktivitas masing-masing. Mas Kahfi kembali mengajar dan aku kembali mengurus rumah makan.

Jadwal mengajar ku di As-Syafi'iyah diganti ba'da asar. Jadi, saat memiliki jadwal mengajar aku langsung ke As-Syafi'iyah setelah dari rumah makan. Ya, aku dan mas Kahfi lebih banyak tinggal di Miftahul Anwar, meskipun sesekali menginap di As-Syafi'iyah.

Status santri yang berubah menjadi istri membuat keberadaan ku sedikit berbeda disini. Dulu, mungkin semua santri akan menyapa begitu ramahnya atau bahkan cuek begitu saja saat bertemu dengan ku.

Sekarang, jangankan menyapa, mendengar derap langkahku saja, aktivitas mereka akan terhenti dan menunduk seketika.

Hal ini yang sejujurnya membuat ku sedikit tidak nyaman. Terlebih ketika aku bermain di kamar umi Kulsum pertama kali setelah mereka tahu status ku sebagai istri.

Flashback on

Hari Minggu, dimana para santri memiliki jadwal untuk kerja bakti. Aku sengaja, usai shalat subuh tak langsung kembali ke ndalem, melainkan ikut Afisa ke kamarnya.

Aku juga sempat meminta kepada pengurus kebersihan agar beberapa santri di kamar umi Kulsum untuk membersihkan ndalem saja. Seketika kamar mendadak hening, saat aku memasuki kamar lamaku itu. Beberapa santri yang merebahkan diri pun segera bangkit untuk duduk.

"Lohh Wonten Ning e, Monggo pinarak Ning! Duhh kamarnya berantakan. Sepuntene Ning!" Ucap Firda mempersilahkan masuk. Ada sedikit nada mengejek dari yang diucapkan Firda. (Lohh ada ningnya, silahkan masuk Ning! Mohon maaf kamarnya berantakan!)

"Yang mau menghujat dipersilahkan! Aku menyerahkan diri sekarang!" Ucapku merebahkan diri di kasur lantai yang belum tertumpuk itu dengan mukenah yang belum ku lepas.

Untuk hari Minggu, kasur lantai boleh ditumpuk maksimal pukul 6 pagi. Semua tertawa dan berkumpul diatas kasur lantai. Udara yang cukup dingin pagi ini membuat kaki enggan bersentuhan dengan si ubin coklat itu.

"Aura manten emang beda ya gaes! Adem adem tapi wes seger!" Celetuk Arin yang memang sudah kelas 2 Aliyah. Ya, memang terlihat sekali. Mukenah ku basah akibat keramas tadi sebelum shalat. (Dingin-dingin tapi sudah segar!)

"Tumben Sya kamu keramas pagi-pagi?" Tanya menggoda Afisa.

"Yahh gimana udah kewajiban!" Sahutku membuat mereka melongo.

"Mbak Nasya abis anu ya?" Celetuk polos Amanda. Ah bukan anak polos jika sudah tahu mengenai hal 'anu' yang dimaksudnya.

"Anu apa Man?" Tanyaku seolah tak mengerti.

"Halah mbak Nasya sok ga ngerti!" Sahut Arin.

"Hahah pikirane kalian! Aku haid, baru sucian tadi pagi!"

"Emang anu itu apa mbak?" Tanya Alia. Dia masih kelas 1 Tsanawiyah. Sudah pasti ia masih belum mengerti.

"Duhh kalian bahas kaya gini didepan anak kecil! Bisa dewasa sebelum waktunya ntar dia!" Protes Afisa.

"Firda tanggung jawab!" Seruku yang mendapati protesan darinya.

Pagi ini, aku sengaja meluangkan waktu untuk mereka. Akhirnya mereka meminta ku untuk bercerita mengenai status Ning yang ku tutupi selama ini hingga pernikahan ku dengan mas Kahfi.

Tentunya aku tidak menceritakan masalah rumah tanggaku pada mereka. Selain masalahku yang terlalu rumit untuk mereka, masalah yang ada didalam rumah tangga tidak baik untuk diumbar pada orang lain. Biarlah aku, mas Kahfi, dan Allah yang tahu.

"Mahreen" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang