Suara murottal terdengar dari masjid utama. Aku menggeliat dengan mata yang terasa berat. Tangan kekar mas Kahfi masih setia dipinggangku. Aku memperhatikan wajah sayu mas Kahfi yang masih terlelap.
Entahlah aku masih tak mengerti, akankah aku sudah mencintainya dihubungan kami yang sudah sejauh ini. Jika memang Allah benar-benar menakdirkan mas Kahfi untuk ku. Ikhlaskan hati ini, dan rahmatilah pernikahan kami. Aku membelai pipinya secara lembut.
"Mas, bangun!"
"Hmm!" Jawabnya hanya mengerang.
"Bangun ih!" Alih-alih bangun, mas Kahfi menarikku kepelukannya.
"Khalwa ke kamar mandi dulu!" Pamitku setelah berhasil lepas dari tubuhnya. Aku turun dari kasur seperti biasa.
"Aw!" Pekikku saat merasakan sakit dibagian bawah juga membuatku jatuh terduduk disamping kasur. Mas Kahfi yang mendengarnya langsung menghampiri ku.
"Sakit?" Tanyanya meringis seolah juga merasakan sakit yang kurasakan. Tanpa aba-aba, mas Kahfi menggendong ku menuju kamar mandi membuat ku semakin malu saja.
"Mau mandi bareng?" Godanya saat menurunkan ku.
"Mboten! Jenengan keluar mawon!" Protesku mengusirnya. Dengan berat hati ia pun meninggalkan ku di kamar mandi.
Ucapan syukur, terima kasih, dan maaf tak pernah lepas dari mas Kahfi sejak usai tahajjud tadi. Ia bersyukur karena hubungan kami semakin dekat. Berterima kasih karena aku telah menjadi istri seutuhnya. Dan maaf, entah aku masih tak bisa mengira maaf untuk apa.
Mas Kahfi tak mengijinkan ku untuk jamaah di mushalla putri. Bahkan melarang ku untuk membantu ummi di dapur. Mas Kahfi berdalih aku kurang enak badan sebab kehujanan tadi malam. Padahal ini karena ulahnya. Meskipun kehujanan adalah penyebab utamanya.
Mas Kahfi juga tak mengijinkan ku untuk ke rumah makan. Ia juga meliburkan diri dari kampusnya. Ah emang se enak jidat itu orang main libur sendiri.
Aku sempat tidak setuju jika ia tak ke kampus hari ini. Jujur, aku masih malu berdekatan dengannya. Dan berjaga-jaga takut ia malah tidak membiarkan ku beristirahat. Namun, lagi-lagi ia memiliki banyak alasan. Jengah sekali aku mendengarnya.
Hari ini mas Kahfi benar-benar mengurungku dikamar. Sarapan dan makan siang pun ia bawa ke kamar. Ah sungguh berlebihan. Masa ia hariku hanya dihabiskan dengan bermain gawai saja.
"Mas!" Panggilku setelah ia menutup telponnya.
"Butuh sesuatu?" Tanyanya menghampiri ku.
"Bosen!" Keluhku.
"Terus mau ngapain?"
"Keluar"
"Sampeyan yakin udah enakan?"
"Emangnya Khalwa sakit? Orang Khalwa gapapa kok!"
"Itunya ga sakit?" Seketika aku memukulnya dengan bantal. Bikin malu saja.
"Mboten kok!" Lirihku malu malah membuatnya tertawa.
"Malu mas ih!" Protesku memukulnya lagi.
"Aw! Haha iya iya maaf! Udah ngga lagi!" Ucapnya masih di sisa-sisa tertawanya.
"Sampeyan mau kemana?"
"Pingin seblak! Katanya pas di rumah sakit..." Ah berkata rumah sakit aku teringat kejadian itu. Tapi segera kuhapus, dan melanjutkan ucapanku.
"Jenengan mau beliin Khalwa seblak!"
"Sampeyan ngidam?" Tanyanya curiga.
"Ngawur! Mboten! Yakali Khalwa hamil" ucapku lagi-lagi memukulnya dengan bantal. Entahlah tanganku bergerak sendiri tanpa disuruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas