4. keputusan Buya

2.5K 187 5
                                    

Langkah kakiku terhenti saat sampai di pintu samping.

"Kulo mboten setuju menawi Khalwa nikah muda"

"Ning, ini demi kebaikannya"

"Gus apa jenengan lupa bagaimana kisah kita dulu? Ah bukan.. lebih tepatnya kisah kulo dulu?"

"Ning, Allah pasti memberi kisah yang berbeda antara sampean dan Khalwa. Belum tentu dia akan menghadapi masalah yang sama seperti kita"

"Tapi Gus, Khalwa masih terlalu muda... Dia masih butuh bimbingan kita sebagai orang tua... Kulo takut dia tak mampu menghadapi masalah rumah tangga di umur yang masih belia seperti saat ini"

"Sudahlah Ning, kita tanyakan dulu sama Khalwa"

"Jika Khalwa tidak mau jangan dipaksa!"

"Iya sayang".

Setelah perdebatan Buya dan Muya aku memilih masuk. Bingung tentang apa yang mereka bahas, namun aku memilih seolah tak mendengar perdebatan mereka.

"Assalamualaikum!" Ucapku melangkah masuk.

"Waalaikumussalam, sudah selesai nduk?" Jawab Muya menghampiri ku.

"Sampun Muya" ucapku menyalami Buya dan Muya.

"Tumben langsung pulang?" Tanya Buya.

"Males, gada yang kenal sama mbak-mbak santri nya"

"Yo kenalan toh, piye arep dadi Bunyai lak ora kenal nak santrine" (ya kenalan, gimana mau jadi Bunyai kalau tidak kenal ke santrinya)

"Buya! Khalwa ga mau ya jadi Bunyai"

"Lah terus yang nerusin pesantren siapa?"

"Masih ada Arsyad"

"Kalau dapet suami kiyai gimana?"

"Tau lah Buya.. Khalwa ke kamar dulu"

"Loh Ndak makan siang dulu nduk?"

"Masih kenyang Muy" jawabku meninggalkan Buya dan Muya.

"Tuh kan ngambek dia" terdengar suara Muya menegur Buya.

Aku memang sama sekali tak ingin menjadi Bunyai sejak kecil. Ya walaupun aku seorang putri dari pengasuh pondok pesantren Assyafi'iyah yang berkemungkinan akan menjadi penerus disini.

Entahlah aku sangat takut mengemban amanah besar seperti itu. Aku pun tak mengakui status ku sebagai Ning saat mondok. Itulah mengapa aku tak pernah membawa Afisa atau teman ku yang lain kerumah. Aku takut mereka tahu akan statusku. Ya meskipun suatu saat mereka pasti tahu.

Akupun tak pernah berbaur dengan santri disini. Hanya mbak Siti yang kukenal juga mbak Jihan yang sudah keluar beberapa tahun lalu.

Diluar sana juga banyak yang tak mengetahui jika Kiyai Arham Mafiq memiliki seorang putri.

Berbeda dengan Arsyad, dari kecil pesona Gus-able nya sudah nampak. Dia seorang yang ramah dan mudah bergaul. Tak heran jika ia terkenal diluaran.

Umur kami hanya terpaut dua tahun dan saat ini dia duduk di bangku kelas XI di salah satu pondok salaf besar di Jawa timur. Buya sengaja mendidiknya untuk menjadikannya sebagai penerus disini. Berbeda dengan aku yang memang dari awal tidak menginginkan hal itu.

***

Saat di rumah, berdiam diri di kamar adalah kebiasaan ku. Tok tok tok!

"Assalamualaikum, permisi Ning!" Terdengar suara dari luar kamar.

"Mahreen" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang