Ekstra Part II

3.6K 196 19
                                    

Hidup itu kebahagiaan. Kebahagiaan yang harus kita capai. Setiap orang memiliki standar kebahagiaan masing-masing. Juga memiliki cara masing-masing untuk mengungkapkannya.

Seperti mas Kahfi, dia tak pernah meluapkan perasaannya dengan apapun. Saat sedih, ia akan merenung. Saat senang pun akan diam. Ya aku memahami semua itu. Meskipun terkadang merasakan kesal.

Sejak mas Kahfi tahu aku mengandung, ia memutuskan untuk tidak kembali ke Mesir. Begitupun aku. Aku mengajukan cuti selama dua semester. Hal ini juga berdampak pada penelitian S3 mas Kahfi.

Ya meskipun menempuh S3 di Al-Azhar tidak ada kelas khusus, namun jarak antara Indonesia dan Mesir yang cukup jauh, membuat mas Kahfi sulit saat bimbingan.

Dia tak masalah akan hal itu, ya meskipun mas Kahfi memutuskan untuk menyelesaikan doktoralnya lebih cepat, ia akan tetap menemaniku di Mesir. Itulah mengapa ia memilih memperlambat saja.

Rencananya setelah dua bulan lahiran, aku akan kembali ke Mesir untuk menyelesaikan studiku yang tertunda. Tentunya membawa putra kecil kami. Ya, kemarin setelah periksa, kata dokter anak pertama kami berjenis kelamin laki-laki.

Saat ini kandunganku sudah memasuki bulan ke-sembilan. Hari perkiraan lahir masih satu Minggu lagi. Kakiku sudah mulai membengkak sejak di bulan ke tujuh.

Perutku semakin membesar, membuatku susah untuk beraktivitas. Ya, meskipun sejak awal kehamilan mas Kahfi sudah membatasi pergerakan ku. Ia selalu menjadi suami siaga.

Beruntungnya aku pun tak pernah mengidam aneh-aneh. Semua yang kuinginkan masih bisa dikatakan wajar. Mungkin aku hanya sedikit lebih manja dan pemalas. Ah bukan, itu memang sifat asliku.

Tapi sejak hamil, manja dan pemalas ku semakin menjadi. Aku lebih suka menghabiskan waktu di kamar dengan membaca novel. Mas Kahfi pun tak pernah menegur kegiatan ku asal tidak melelahkan.

Aku juga belum mengambil alih resto Muya. Meskipun semua dalam pantauan ku, tetap saja aku tidak diperbolehkan untuk terjun ke lapangan.

Muya sengaja memintaku untuk tinggal bersamanya hingga lahiran nanti. Berhubung ini masih cucu pertama Buya dan Muya, sedangkan di keluarga mas Kahfi sudah ada Gus Al, Abah dan Ummi tidak mempermasalahkan hal itu. Abah dan ummi begitu memaklumi bagaimana perasaan bahagia menanti cucu pertama.

Siang ini, mas Kahfi pulang lebih awal dari kampusnya. Sejak pagi ia mengeluh pusing dan sakit pinggang. Aku memijatnya hingga terlelap.

Mas Kahfi tidur dengan lelap di sampingku. Seperti biasa aku membaca novel yang baru dibeli kemarin.

"Eughhh" mas Kahfi menggeliat mendekat ke arahku kemudian memeluk pahaku.

"Loh dek?" Tiba-tiba ia duduk panik.

"Kenapa mas?" tanyaku terheran. Ia meraba-raba sekitar tempatku duduk.

"Kok basah?" Tanya mas Kahfi membuatku terkejut. Benar, tempatku duduk sangat basah. Perasaan aku ngga merasakan apapun, tapi kenapa bisa basah.

"Sampeyan ngompol?" Tanya mas Kahfi membuatku menggeleng cepat.

"Sampeyan ngga apa-apa? Ini kok basah? Tapi ngga bau!" Ucap mas Kahfi panik setelah mencium tempatku duduk.

"Khalwa ngga apa-apa! Khalwa juga ngga merasakan apa-apa! Tapi ngga tahu kenapa kok basah!"

"Sebentar, sampeyan jangan kemana-mana! Saya tak panggil Muya dulu!" Ucap mas Kahfi meninggalkan ku.

Aku bingung, aku benar-benar tak merasakan apapun. Kenapa bisa seperti ini.

"Kenapa Teh?" Tanya Muya khawatir memasuki kamarku masih dengan mukenahnya.

"Mahreen" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang