Gemuruh shalawat nabi terdengar hingga penjuru pesantren. Santri putri berbaris disepanjang halaman ndalem hingga pelataran masjid pusat. Santri putra memenuhi seluruh masjid. Tabuh Hadrah tertata rapi di serambi masjid. Aku tak percaya perayaan sederhana akan semeriah ini.
Aku berjalan melewati para santri di dampingi mbak Shasa dan teh Firla. Sepanjang perjalanan aku hanya fokus menunduk dan menenangkan hati. Hingga tak kusadari sebuah kaki tegap berdiri di depan ku.
"Salim dulu sama suaminya!" Titah teh Firla kepadaku. Perlahan aku mendongakkan kepala.
Deg!
Jantungku berdebar kencang saat tatapan kami bertemu. Ia tersenyum manis kepada ku.
Tapi aneh!
Sorot matanya menampakkan hal yang berbeda.
Akankah ini hanya perasaanku saja?
Aku masih menatapnya berkaca-kaca. Perlahan aku mengadahkan tangan untuk menyalaminya. Ia menjulurkan tangannya. Dengan ragu mengambil tangan dinginnya untuk ku cium.
Tes!
Pertahanan ku runtuh seketika. Tangannya kini dibasahi oleh setetes air mata ku.
Ia menyentuh ubun-ubun ku dengan tangan kirinya. Lalu mengadahkan tangan kanannya,
"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."
Gus Zuhayr merapalkan doanya kemudian mengecup keningku lama.
Tes!
Aku merasakan basah menembus ciputku.
Akankah Gus Zuhayr menangis?
Kini aku tak menyadari mbak Shasa dan teh Firla sudah tiada dibelakang ku.
Di bawah pilar utama masjid, ditengah para santri, tamu, dan keluarga, Gus Zuhayr membawaku berjalan menuju depan pengimaman.
Kiyai, Bunyai, Muya, dan Buya sudah duduk di atas kursi. Bergantian kami bersimpuh di kaki mereka. Seketika tangisku pecah. Sudah lama ku impikan bersimpuh di kaki dua murobbi yang kini menjadi orang tua ku. Petuah dan nasehat tak lepas mereka bisikkan.
Tangisku semakin menjadi ketika bersimpuh kepada Muya dan Buya. Kini putri kecil mereka telah resmi menjadi seorang istri dihadapan Allah dan para malaikat-Nya. Seperti baru kemarin aku merengek meminta mainan kini ku sudah resmi menjadi istri seseorang. Doa-doa terbaik tak lepas dari bibir Muya dan Buya.
"Buya selalu sayang Khalwa" begitulah bisikan terakhirnya.
Aku mendongak dengan wajah penuh air mata. Buya menangkupkan wajahku kemudian menciumi seluruh wajahku dengan penuh kasih. Wajah Buya begitu tenang, hingga beliau membawaku beranjak untuk berdiri. Ada setetes bulir bening dikelopak matanya, tapi masih mampu beliau halau.
Buya menuntun ku menuju Gus Zuhayr yang sudah berdiri sejak sebelumnya. Memberi titah kepada Gus Zuhayr untuk memasangkan cincin pernikahan. Tak berlangsung lama, acara dilanjutkan dengan foto bersama.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Keluarga Gus Zuhayr sudah berpamitan sejak satu jam yang lalu. Jiddah juga sudah berpamitan bersama pak Dhe Mirza baru saja. Aku meminta jiddah untuk menginap, tapi di tolak secara halus. Kepikiran sama ayam kesayangannya katanya.
"Muya! Khalwa tak masuk dulu ya" pamitku.
"Loh suaminya Yo di ajak toh teh"
"Tidur sama Khalwa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mahreen" [END]
General Fiction"Saat alasan untuk bertahan pun sudah tiada bolehkah aku memilih untuk berputus asa?" Mahreen Nasyauqi Khalwa Rank #1 - Berat #1 - Ning #2 - Pesantren #1 - Lelah #3 - Ikhlas