Jangan coba-coba lo merebutnya dari gue. Karena apa? Karena dia itu udah jadi takdir gue, sekarang dan selamanya. Satu lagi, sentuh seujung kuku pun gak akan gue kasih. Pilihannya, mati atau rumah sakit?
^Bagas Emilio^
________
Bagas sedang berjalan santai, setelah sehabis orahraga lari pagi mengitari komplek.
"Eh, nak Bagas. Abis lari pagi ya?" tanya Bu Marni--- tetangga Bagas tepat di samping kanan lewat dua rumah--- yang kebetulan bertemu. Ketika Bagas baru saja ingin pulang ke arah rumahnya.
"Iya, Ibu," jawab Bagas dengan ramah.
"Sebentar Bagas, Ibu mau menitipkan bingkisan untuk Bu Wanda." Belum sempat Bagas menjawab, bu Marni sudah masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya.
Bagas akhirnya menunggu di luar gerbang sesekali memainkan ponselnya.
"Emm ini untuk Ibu dari saya, dan ini juga ada titipan dari Mbak Fahira. Maaf ya, ibu nitip sama kamu, karena habis ini Ibu mau pergi. Terima kasih sebelumnya."
"Iya Bu, gak apa-apa. Kalau begitu saya pamit pulang, permisi," ujar Bagas sekaligus pamit dari kediaman bu Marni.
Setelah sampai ke rumah, Bagas di sambut oleh Wanda--- mamahnya.
"Kamu belanja, tumben? Biasanya kalo abis lari gak mau tuh, kalau sekalian di suruh belanja."
"Bukan, Mah. Ini bingkisan dari Bu Marni, terus yang satunya dari Mbak Fahira."
"Oh gitu. Kenapa gak ke rumah?"
"Katanya, abis kasih ini mau langsung pergi. Makanya pas aku lewat dia langsung titip."
"Iya deh." Setelah itu, Wanda dan Bagas segera masuk ke dalam rumah.
Bagas saat ini tepat di depan cermin, di dalam kamarnya. Sehabis mandi, entah mengapa pikiran-nya teringat pada seorang Rasya Abigail. Senyumnya, ketika salah tingkah, marah-marah, kesal, cemberut, wajahnya yang bersemu merah, dan bibir itu ... benar-benar membuatnya candu. Rasanya ingin lagi dan lagi.
Kemudian Bagas langsung menggelengkan kepala. Mengapa otaknya jadi mesum begini? Tapi ... itu tidak salah, dirinya masih normal, terlebih laki-laki, wajar bukan?
Bagas segera mengambil dan memakai pakaian-nya yang ada di dalam lemari. Seusai itu dirinya turun ke bawah, menemui Wanda.
***
Rasya yang kini tengah menyisir rambutnya, terkejut akan kedatangan seorang yang tidak pernah ia sangka akan datang ke rumahnya.
"Amel?"
"Hai, Kak. Gak apa-apa, kalau gue main?"
Wajah Rasya langsung di ubah menjadi seperti biasa, setelah raut terkejut yang di tunjukkan-nya.
"Gak apa-apa, Amel. Cuma ... ya gue bingung aja. Di sekolah jarang ketemu, eh sekarang lo malah ke rumah gue. Emm ada perlu apa?"
Amel menghampiri Rasya, juga duduk di pinggir ranjang, dekat meja rias--- di mana Rasya duduk di depannya.
"Cuma mau lebih kenal aja, sama calon kakak sepupu gue." Kekeh Amel di akhir kalimatnya.
"Kenapa gak kita saling chat atau video call lewat ponsel aja? Gak harus perlu lo repot-repot ke sini, ya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasya (End)
Teen Fiction16+ Bagi Bagas, Rasya itu lucu, menarik, apa adanya, tidak jaim, galak, dan dia tidak manja. Mungkin itu saja tidak cukup untuk mendeskripsikan seorang Rasya. Bagas sayang terhadapnya, entah sejak kapan perasaan itu muncul. Perasaan yang diam-diam i...