Selamat membaca ...
________
PrangggVas bunga yang terpajang di sisi ruang tengah keluarga Adri pecah begitu saja. Pelaku tersebut ialah anaknya sendiri, Zevanya Raquela.
"ZEVA."
"APA? PAPAH MAU MARAH SAMA AKU, IYA?"
Zeva muak dengan apa yang papahnya lakukan. Menyeretnya pulang saat sedang bermain bersama Zico di Mall.
"BISA KAMU PELANKAN NADA BICARAMU?"
"AKU BEGINI JUGA KARENA DIDIKAN PAPAH."
Plakk
Zevanya meringis kala Adri menampar pipi sebelah kirinya. Ini bukan kali pertamanya Zeva mendapat perlakuan seperti itu dari papahnya. Bahkan ini sudah yang kesekian kalinya.
"Papah puas? Puas udah nampar aku?" tanya Zeva dengan nada getar karena menangis.
"Karena kamu mengecewakan Papah. Kan Papah sudah bilang, belajar dengan Bagas, lalu meneruskan perusahaan Papah. Bukan malah pulang sekolah langsung keluyuran, apalagi sampai pergi ke club."
"Aku pergi ke mall loh, bukan ke club. Lagi pula ... itu hanya kemauan Papah, bukan aku. Dan asal Papah tahu, aku gak akan mau meneruskan perusahaan properti milik Papah. Karena apa? Gak sejalan dengan apa yang aku inginkan." Setelah itu Zeva pergi menaiki tangga menuju kamarnya. Ia membanting dan menutup pintu itu cukup keras, hingga sang pembantu yang baru saja masuk dari pintu utama terkejut akan suara tersebut.
Sudah hal biasa keributan itu terjadi di rumah majikannya ini. Kerap kali ia merasa tidak enak, lantaran seorang ayah dan anak yang selalu bertengkar. Padahal setiap masalah bisa dibicarakan dengan baik-baik, tanpa ada emosi yang keluar. Tapi sayangnya itu tidak bisa, karena mereka sama-sama keras kepala.
***
Bagas kini sedang berkutat di meja kantor, dengan beberapa berkas di sana. Sedari tadi matanya tak teralihkan dengan apapun. Hari ini dan dua hari ke depan, ia izin untuk meneruskan perusahaan Frans. Kebetulan ada pertemuan bisnis penting juga kerja sama dengan beberapa perusahaan. Juga akan ada proyek baru pembangunan di Kota Depok, makanya Bagas dicecar selama tiga hari ke depan.
Selama di kantor, ia tidak meninggalkan satu barang pun berkas. Ia juga tidak berinteraksi dengan karyawan lain, tetapi hanya dengan sekretarisnya saja. Itu pun hanya soal kerjaan, bukan hal-hal yang tidak penting.
Di sekolah
Rasya duduk di pinggir lapangan sendirian, tadi ia bersama Rere. Tapi Rere di ajak oleh Farhan untuk ke kantin, bersama Rio dan Disha. Kalau Doni sih jangan di tanya, dia sedang apel ke kelasnya Amel.
Sedari tadi Rasya hanya menatap layar ponsel juga menatap lapangan yang diisi oleh anak-anak kelas sepuluh dan sebelas bermain sepak bola. Begitu terus matanya sampai ia merasa bosan sendiri. Belum ada sehari Bagas tidak masuk, sudah mati kebosanan dia. Apalagi hari-hari berikutnya.
Ya memang, hanya tiga hari, tapi Rasya sekarang bucinnya Bagas. Jika tidak ada Bagas disisinya, bagai sayur tanpa garam. Hambar.
"Bangun lo!" Itu sebuah perintah, Rasya yang sedari tadi diam akhirnya mendongak dan menatap tajam orang yang memerintahnya dengan seenak jidat.
"Mau ngapain, lo?" tanya Rasya sengit sambil berdiri.
"Gue ada perlu. Ini soal gue, lo, dan Bagas."
"To the point!"
Tanpa kata, orang itu menyeret Rasya dengan cara kasar. Bahkan ia menyengkram tangan Rasya dengan keras. Rasya terseok menyamai langkah orang itu yang terbilang cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasya (End)
Teen Fiction16+ Bagi Bagas, Rasya itu lucu, menarik, apa adanya, tidak jaim, galak, dan dia tidak manja. Mungkin itu saja tidak cukup untuk mendeskripsikan seorang Rasya. Bagas sayang terhadapnya, entah sejak kapan perasaan itu muncul. Perasaan yang diam-diam i...