Bab 64

183 2 0
                                    

Selamat membaca ...

________

Enam bulan kemudian ...

Waktu berlalu begitu cepat. Bahkan kelas dua belas kemarin sudah lulus semua dengan hasil terbaik. Dan kini, kelas sebelas berpindah tempat menjadi kelas dua belas. Di mana sudah tidak ada kata main-main, apalagi sampai mencari masalah.

Oh iya, selama itu pun, Zeva dan Jihan tidak pernah menjadi bahan gosip pembicaraan lagi. Karena sejak mereka lulus, tak ada kabar sama sekali dari keduanya. Kalau Prita, dia terkadang suka berkunjung ke sekolah jika sudah selesai ngampus. Entah bertemu dengan teman-temannya yang dulu berada di kelas sebelas, atau juga bertemu dengan rombongan Rasya dan lainnya.

Semenjak Prita tidak berdekatan lagi dengan Zevanya dan Jihan, banyak dari mereka yang mendekati Prita. Bahkan secara terang-terangan ingin menjadi temannya. Lantaran Prita anak yang baik dan jujur. Kemarin-kemarin, dia hanya kebawa arus saja, makanya bisa ikut geng Zeva. Maka dari itu, sebelum lulus sekolah di SMA Taruna Bangsa Prita punya banyak teman, entah itu dari seangkatannya atau pun dari adik kelas.

Kini Rasya dan Rere masih berkutat di layar laptop--- untuk menyelesaikan tugas membuat makalah--- pada pelajaran Bahasa Indonesia. Sedari tadi mereka berdua tidak menyempatkan untuk istirahat ke kantin sama sekali. Lantaran ini tugas terakhir sebelum ujian praktek berlangsung.

"Sya, Bagas, Farhan, sama Doni mana, sih? Ini gue haus banget. Kalo ninggalin lo, gue gak mau, yang ada nanti gak selesai-selesai tugasnya."

"Gue udah coba telepon tadi, katanya antri di kantin. Tahu sendiri lah, ya, apalagi campur anak kelas sepuluh juga."

"Iya, sih." Akhirnya Rere diam dan menunggu kedatangan Bagas, Farhan, dan Doni dari kantin.

Hampir lima menit mereka berdua menunggu. Tak lama kemudian datang Bagas, Farhan, dan Doni. Sambil membawa beberapa plastik sedang ke meja Rasya dan Rere.

***

Rasya dan Bagas kini sedang dalam perjalanan pulang. Cuaca sore ini sangat cerah, bahkan Rasya tadi merasakan panasnya cahaya matahari yang belum sepenuhnya tenggelam. Bagas saja sampai membuka seragam putihnya, menyisakan dalaman kaos putih polos. Sementara Rasya sempat berganti pakaian menjadi kaos di dalam mobil, ketika mereka masih di parkiran sekolah.

Jalanan tampak macet. Bahkan ada yang tak sengaja menyenggol pengendara lain. Juga ada yang terus membunyikan klakson-nya tanda ia tak sabar akan kemacetan ini.

"Berisik deh, emang dia aja apa yang risih akan kemacetan? Kesel banget." Rasya mengumpat kesal kala suara klakson dari pengendara lain yang terus saja dibunyikan.

Bagas melirik Rasya dan tersenyum, tangan kirinya mengusap surai milik Rasya.

"Sabar, sayang. Namanya juga Jakarta, ya gini." Rasya memanyunkan bibirnya, tapi raut Rasya menjadi terkejut kala Bagas mengecup bibirnya dengan singkat.

"Ishh, malu." Rasya berujar seraya menutup wajahnya menggunakan ke-dua telapak tangannya.

Bagas tertawa karena reaksi Rasya yang salah tingkah. Padahal ini bukan yang pertama, tapi seolah-olah ciuman itu benar-benar yang pertama dari Bagas untuk Rasya. Lucu sekali istrinya itu.

Empat puluh lima menit mereka berada dalam kemacetan. Kini sudah renggang dan mobil Bagas pun berjalan lancar, hingga Rasya tersenyum karena bebas dari kemacetan tadi.

Tak lama kemudian, mobil mereka sampai di pekarangan rumah. Bagas membuka gerbangnya dan mulai memasuki mobilnya di pelataran.

Bagas dan Rasya keluar dan masuk ke dalam rumah yang memang tak ada penghuni lain selain mereka berdua.

Gasya (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang