Bab 14

326 19 0
                                    

Rasa canggung kian datang. Yang tadinya saling sapa meski ujungnya amarah, kini sangat berbeda.
Kelu untuk mengeluarkan suara, diam untuk bertingkah jahil

________

Pagi yang cerah, burung berkicauan, suara manusia yang saling menyapa juga bersenda gurau, suara gesekan sepatu, suara berlari dari gerbang hingga koridor.

Semua hal itu terdengar di SMA Taruna Bangsa. Sehabis acara kemarin, mereka tetap untuk melanjutkan sekolah dan belajar. Maka dari itu siswa/siswi sudah banyak yang datang.

Anak-anak OSIS sekaligus panitia dalam acara kemarin juga tetap masuk, tetapi hanya hadir tanpa belajar. Mereka di sekolah hanya untuk merayakan keberhasilan acara kemarin, terlebih mereka pulang hingga malam hari pukul 08:30. Karena membereskan semua alat perlengkapan, alat musik di panggung, kursi yang di tengah lapangan, juga sampah yang berserakan. Kini yang masih tersisa hanya panggung juga terpal saja, karena itu urusan orang-orang tenda yang di sewa dari pihak sekolah.

"Hei, Sya." Rere menyapa Rasya saat ia baru saja masuk ke dalam kelas, tapi ia melihat Rasya dengan wajah kusut juga melamun. Tak ada sahutan sama sekali dari mulutnya.

"Pagi-pagi muka lo udah kusut gitu, ada apa sih?" Rere bertanya seraya mendudukan bokongnya di samping Rasya.

Rasya menoleh ke samping dan mendapati sahabatnya yang khawatir akan keadaan dirinya sekarang.

"Re," ucap Rasya seraya memeluk Rere.

"Hei, lo kenapa?" Tidak ada sahutan lagi oleh Rasya, yang ada hanya suara isakan dalam pelukannya saat ini.

"Sya, kok lo nangis? Ada apa sih? Coba cerita sama gue." Rere bingung dengan Rasya yang tiba-tiba saja menangis, kini ia di landa bingung juga kekhawatiran.

"Gue mau cerita, tapi gak disini," ujar Rasya sambil menghapus jejak air matanya.

Rere mengangguk dan keluar kelas bersama Rasya, karena Rasya yang menariknya. Katanya dia ingin cerita di dekat pohon, sisi lapangan. Kebetulan pagi ini sepi di sana.

Rasya mencoba untuk menghirup napas dan membuangnya dengan perlahan. Lalu mengalirlah cerita dari awal hingga saat mamahnya membujuk untuk menerima perjodohan itu.

"Gue harus gimana, Re? Gue masih sekolah, masih ada hal yang harus gue capai."

"Sya ...," Rere menjeda ucapannya sebelum ia melanjutkannya kembali.
"Jujur gue kaget banget denger cerita ini. Tapi mungkin, Om sama Tante ada benarnya juga. Gue gak nyuruh lo untuk terima perjodohan ini dan gue juga gak nyuruh lo untuk menolak cepat perjodohan ini. Di satu sisi gue sangat mendukung hubungan lo sama Bagas, tapi di sisi lain gue gak mau lihat sahabat gue terus-terusan terpuruk, di masa mudanya sudah di kasih masalah berat kaya gini. Gue sayang banget sama lo, Sya. Tapi ... gue juga gak bisa berbuat apa-apa selain mendukung lo dari belakang. Kenapa Om dan Tante menjodohkan lo dengan Bagas? Mungkin karena ada sesuatu di balik ini semua, pasti ada hikmahnya dengan kalian di jodohkan. Menjadi lebih akur dan gak ada permusuhan antara lo dan Bagas. Dan gue juga yakin Bagas itu yang terbaik buat lo." Lagi dan lagi Rasya memeluk Rere, ia berterima kasih atas pencerahan yang di berikannya. Meskipun ini berat, tak ayal ia harus memikirkan apa yang dikatakan sahabatnya ini.

Rasya baru menceritakan hal ini pada Rere, lantaran kemarin ia sibuk. Jikalau di telepon ia tidak akan mau, karena tidak enak jika tidak bertemu langsung. Terlebih kemarin ia juga pulang malam bersama anak-anak OSIS. Sehabis pulang dari kegiatan itu, ia membersihkan diri dan langsung tidur, bangun-bangun hari sudah berganti.

Gasya (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang