Rasa hadir tanpa bisa di cegah. Yang dahulunya benci, kini jadi rindu. Yang dahulunya usil, kini jadi sayang.
________
Bagas sedang asik dengan ponsel-nya. Sejak siang tadi, hingga berganti sore, jari-jemarinya belum juga berhenti dari layar sana.
Wanda yang kebetulan ingin memanggil putra satu-satunya itu, menggelengkan kepala dan menghela nafas. Segeralah Wanda masuk dan mulai mendudukkan bokonya di sofa, yang memang kebetulan Bagas sedang duduk di sana.
"Awshh, Mah, Awsh." Bagas mengusap telinga sebelah kirinya, akibat jewer-an super pedas dari sang ratu--- mamahnya.
"Kenapa? Mau protes? Dari tadi main hp terus, gak ada celahnya sama sekali. Kalo udah nge-game, lupa sama semuanya." ujar Wanda dengan wajah garang. Ketika Bagas menoleh juga menatap tajam Wanda.
Jawaban Bagas hanya sebuah kekehan. Ia pun mulai mematikan permainan yang ada di layar ponselnya. Setelah itu di letakkan begitu saja di sofa, sebelah kanan.
"Nanti malam, akan ada pertemuan keluarga Damian. Kamu jangan main hp terus, persiapkan mental kamu."
"Dih, pake persiapin mental segala. Lagian juga aku sama Rasya udah baikan, Mah. Meski pun kadang aku suka usil, tapi ya setidaknya dari kita masing-masing udah bisa berdamai. Kalo urusan Om Damian si, itu gampang. Toh kalian memang sama-sama ingin menjodohkan aku sama Rasya." Bagas menjawab dengan santai.
"Pinter ya, jawabnya." Wanda mencubit ke dua pipi Bagas dengan gemas. Putra satu-satunya ini benar-benar tidak ada rasa gugupnya. Padahal ia dan suaminya, ingin membahas kelanjutan perjodohan itu bersama keluarga Damian.
"Ya udah, Mamah turun lagi deh. Kamu jangan lupa mandi, pakai baju yang rapi, anak Mamah juga harus wangi." Setelah mengucap serentetan itu, Wanda segera turun, menyusul Farhan yang sedang berada di depan televisi.
Bagas mendengus setelah Wanda tak terlihat dari jangkauannya. Wanita yang sangat berharga baginya itu, benar-benar sangat cerewet. Toh, kalau urusan penampilan jangan di tanya, Bagas ini termasuk pria yang menomor satukan kerapian. Jadi dirinya tidak akan berpenampilan kusut, saat berhadapan dengan keluarga Damian.
***
Tepat pukul 20:00, keluarga Frans sudah sampai di kediaman Damian.
Sekarang mereka tengah berkumpul di ruang keluarga. Di temani banyak camilan dan obrolan ringan di dalamnya.
Rasya masih berdiam di dalam kamarnya. Entah mengapa ia jadi gugup seperti ini, ketika keluarga Frans sudah ada di rumahnya, terlebih ada Bagas.
Padahal sejak kemarin juga ia mulai banyak interaksi lagi bersama Bagas. Tapi tetap saja, jantungnya mulai bekerja lebih cepat kembali.
"Sya, kamu ngapain? Bagas dan keluarga udah nunggu di bawah." Marinka menegur Rasya, saat tahu anaknya sedang duduk di meja riasnya sambil melamun.
"Mamah, aku ... gugup," jawab Rasya.
Marinka tersenyum kala mendengar ucapan Rasya itu. Benar-benar lucu, pikirnya.
Mulai menggenggam kedua tangan Rasya, dan di usapnya perlahan.
"Mamah sangat tahu perasaan kamu sekarang. Gugup itu juga hal yang wajar. Kayanya ... anak Mamah ini udah mulai ada rasa ya, sama Bagas? Tapi kayanya kamu juga akan menyangkal hal ini." Marinka masih menelisik ke bola mata Rasya, lalu ia mulai berucap kembali, "Sya, Mamah berharap kamu dan Bagas bahagia bersama. Mamah berharap, kamu tidak membatalkan perjodohan ini. Ayo! Keluarga Bagas udah nunggu di bawah, kasihan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasya (End)
Teen Fiction16+ Bagi Bagas, Rasya itu lucu, menarik, apa adanya, tidak jaim, galak, dan dia tidak manja. Mungkin itu saja tidak cukup untuk mendeskripsikan seorang Rasya. Bagas sayang terhadapnya, entah sejak kapan perasaan itu muncul. Perasaan yang diam-diam i...