(47)

193 19 21
                                    

Elios

"Nggak mungkin?"

"Apanya yang nggak mungkin kak? Perasaan bukanlah seperti angka yang bisa untuk di hitung, jika ada huruf maka waktu bisa mengubahnya!"
___

Mendengar pengakuan dari Quinza, hatiku terasa sangat sakit. Mungkin apa yang aku rasakan ini tidak sebanding dengan apa yang pernah aku perbuat padanya. Mungkin perasaannya jauh lebih menyakitkan dari apa yang aku rasakan.

Namun aku tidak akan menyerah begitu saja hanya karena ucapanya. Aku yakin semua itu hanya sebuah alasan agar aku menjauh darinya.

Akan ku buktikan jika perasaanku ini lebih kuat dan besar dari segalanya.

Quinza aku tidak akan pernah melepaskanmu, apapun yang akan terjadi kamu tetaplah milikku.

Aku masuk ke dalam ruangan dimana tempat Lala masih di rawat. Berdiri di samping ranjangnya untuk melihat perkembangan keadaannya. Kondisinya tetap seperti biasanya tidak ada tanda-tanda perubahan.

Wajahnya begitu pucat bagaikan mayat tapi terlihat tenang. Dengan banyaknya alat yang menempel pada bagian tubuhnya ku berharap Lala cepat siuman, dan semua yang terjadi dapat di selesaikan.

Namun ketenangan yang terlihat seakan-seakan dia enggan untuk terbangun menjalani aktivitas kehidupan di dunia. Aku selalu berharap jika Lala cepat bangun agar masalah ini terselesaikan hingga Quinza bisa hidup tenang dan nyaman kembali. Tanpa adanya bayang-bayang darinya lagi.

Kecurigaanku yang selama ini, selalu menimbulkan tanda tanya dalam pikiran yang belum terpecahkan bagaikan teka teki tanpa bukti yang jelas.

Entah perasaan takut selalu tersampirkan di saat melihat Quinza berbaur dengannya. Takut jika sewaktu-waktu dan secara tiba-tiba dia melakukan hal yang buruk pada Quinza.

Karena itu cepatlah bangun Lala. Agar aku bisa menjerumuskannya ke dalam penjara. Tanpa kamu aku tidak memiliki bukti apa-apa. Saat ini aku hanya bisa melihat dan terdiam saja. Aku hanya bisa mengandalkan dirimu.

"Ray kamu disini?"

Melihat kedatangan wanita itu yang tersenyum lembut padaku. Meski aku sudah mengetahui jika dia adalah ibu kandungku. Dan tidak ku pungkiri kenyataan ini. Tapi hanya saja dia belum mampu menggantikan posisi bunda di dalam hatiku.

"Kebetulan sekali, saya ingin berbicara dengan anda!" Ucapku kemudian lalu menoleh padanya.

Sekarang kami sudah berada di luar ruangan duduk di kursi panjang yang sudah tersedia.

"Ray, ada apa? Kenapa kamu tidak istirahat saja? Kondisimu belum pulih total."

"Terimakasi atas ke kawatiran anda, tapi saya baik-baik saja. Bagaimana dengan anda? apakah anda baik-baik saja?"

"Ray kamu terlalu sopan?"

"Maaf jika anda tidak suka, tapi ini sudah menjadi kebiasaan saya. Berbicara dengan etika kesopanan, kepada orang yang lebih tua dari saya!"

"Aku ini ibumu, bukan orang lain Ray!"

"Anda benar, anda memang ibu saya. Jadi apa anda tidak ingin bertanya kenapa saya ingin berbicara dengan anda?"

"Tidak, ibu sudah tahu apa yang ingin kamu bicarakan. Pasti tentang Quinza?"

"Syukurlah jika anda sudah tahu, jadi saya tidak perlu untuk menjelaskannya lagi!"

"Ray"

"Yang menjalani hidup adalah saya bukan anda jadi tolong jangan ikut campur dalam kehidupan saya, karena hidup saya bukanlah urusan anda." Tegas Elios.

"Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu pada ibu, aku ini ibumu jadi aku berhak ikut campur dalam hidupmu!"

"Sejak kapan? Asal anda tahu sejak kedatangan anda semua menjadi berantakan, kebahagiaan saya menjadi tertunda dan bunda masuk rumah sakit, harusnya anda tidak perlu untuk datang karena saya jauh lebih bahagia tanpa adanya anda."

"Ray ibu sangat menghawatirkanmu!"

"Terimakasi atas rasa kawatir anda, tapi maaf saya tidak membutuhkannya!"

"Apa gadis itu sudah membutakan hatimu?"

"Anda salah menilainya demikian, Quinza gadis yang baik "

"Jika dia memang baik, lalu kenapa dia mengadu kepadamu? Bila memang bukan dia dari mana kamu tahu?"

"Bukan Quinza, tapi orang lain. Jika bisa memilih, saya lebih memilih Quinza dari pada anda, meski saya tahu anda adalah ibu saya. Tapi hati Quinza jauh lebih baik dari anda."

"Ray"

"Jika benar anda menyayangi saya, lebih baik anda jangan ikut campur."

Tubuhnya terlihat kaku, dia meneteskan air mata, akupun pergi tanpa menghiraukannya. Mungkin kata-kataku terlalu kasar dan menyakiti hatinya. Namun aku tidak suka dia ikut campur dengan kehidupanku. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku pertanyakan kepadanya.

Kenapa dia harus datang sekang, kemana saja dia selama ini?

Aku kembali untuk menemui Quinza. Langkahku terhenti saat melihat keramaian di dalam ruangan dokter Handoko, tante Adinda, Ramon dan juga Maya mereka masih berada di dalam. Mereka semua pokus mendengar penjelasan dari dokter Handoko.

Mendengar ucapan dari Ramon membuatku tersenyum hambar di kala ku mengingat sesuatu dua hari yang lalu.

"Maaf, apa hubungan anda dengan pasien?" Tanya seorang suster dengan menyerahkan sebuah formulir.

"Saya hanya teman pasien!"

"Sayang sekali, saya tidak bisa mengambil sample darah anda untuk melakukan tes lebih lanjut!"

"Kenapa sus?"

"Karena anda bukanlah bagian dari keluarga pasien.."

Ingatanku buyar seketika melihat Quinza berlari keluar, untungnya dia tidak menyadari akan kehadiranku.

"Tante lihat, dia bahkan sangat ceroboh, apa dia tidak peduli dengan kesehatannya?" Cerca Ramon melihat infus Quinza sudah tergeletak di lantai

"Dia benar-benar gadis keras kepala, untung saja sifatku berbeda darinya!" Ucap Ramon kembali.

"Ramon apa maksudmu?" Tanya tante Adinda mengerutkan kening.

"Ah, lupakan saja tante, karena kawatir aku menjadi berkata yang tidak-tidak" Ralat Ramon kemudian.

"Dasar idiot" Gumamku pelan mendengar ucapan Ramon.

Aku pergi menyusul Quinza. Ku melihatnya menangis di taman rumah skit dengan isakan yang memilukan hatiku membuatku menghampirinya.

Aku tidak perduli jika nantinya dia mengusirku dan akupun tidak akan perduli jika nantinya dia menolakku. Mulai saat ini dia tidak akan pernah untuk ku lepaskan lagi, apapun yang terjadi Quinza akan terus bersamaku.

*****


6 Afril 2021

KADO TERAKHIR (END, Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang