(32)

179 21 12
                                    

Bagaikan sembiluh pisau menusuk dada.
Bagaikan duri menusuk relung hati.
Luka yang tidak bertuah maupun berdarah
Saat cerita yang telah usai terdengar kembali.

Kenangan yang tidak perlu untuk di ingat lagi
Jika hanya menyayat hati.
_____


Disaat mendengar pertanyaan dari putrinya Quinza, Adinda wanita setengah baya itu terlihat syok. Tubuhnya terasa kaku, lidah terasa keluh sulit untuk berucap. Tubuhnya kini bergetar ambruk jatuh ke lantai kian terduduk dengan posisi kedua kaki terlipat ke samping.

"Mama"

Quinza panik melihat Adinda yang terdiam dengan linangan air mata.

Tiupan angin terdengar bagaikan seruling, seakan alampun dapat merasakan suasana keadaan saat ini. Keheningan meliputi mereka tanpa berkata. Panasnya trik sinar matahari tidak terasa lagi karna hembusan angin terus menabrak tubuh mereka.

Meski mereka berdiri di bawah atap rumah dengan balkon yang hanya di batasi oleh jeruji-jeruji besi namun sinar matahari dapat menggapai mereka.

"Jika rasanya belum siap untuk cerita nggak apa-apa Ma, Quin ngerti kok, mungkin ini sulit untuk mama mengingat masa lalu lagi!"

"Lee Jong'er Dia kakak kandungmu Quinza" Tersentak mendengar jawaban dari Adinda.

"Apa kamu masih ingat? Kenapa saat itu mama tidak memaafkan kakekmu? Itu karna Lee jong'er."

"Dimana dia sekarang ma?"

"Dia sudah meninggal saat masih berumur 7 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil." Adinda kembali menangis dan tidak berucap lagi.

"Ma"

"Saat itu mama tidak berada di sana, kakekmu telah mengusir mama, dia tidak pernah menyetujui pernikahan mama dengan ayahmu, karena perbedaan kasta kami. Kakek mu meminta Mama pergi tanpa sepengetahuan dari ayahmu tentu saja dia mengizinkan mama untuk membawamu, karena memang pada dasarnya dia hanya membutuhkan cucu laki-laki sebagai penerus keluarganya kelak."

"Ma" Panggil Quinza melihat Adinda menangis histeris.

"Hanya itu yang mama tahu." Isakan tangisnya kembali terdengar, terasa nyilu di hati Quinza, kemudian dia memeluk erat Adinda, dan ikut menangis dapat merasakan apa yang di rasakan Adinda.

(Gue emang nggak tahu bagaimana rasanya punya kakak, tapi mimpi itu dah buat gue bisa rasakan seperti apa rasanya.)

Quinza pergi meninggalkan Adinda disaat Adinda meminta untuk sendiri di dalam kamar.

Quinza mengerti akan perasaan yang di rasakan oleh Adinda saat ini. Meruntuki dirinya menyesal akan apa yang di lakukannya, seharusnya dia tidak bertanya, karna dirinya wanita setengah baya itu harus bersedih kembali karena mengingat masa lalu yang seharusnya akan dia lupakan. Quinza membenarkan dirinya sendiri patut untuk di salahkan.

Melihat dari jendela kamar, kakeknya yang datang dengan memakir mobil di garasi. Berpikir tidak ada alasan untuk membencinya karena menurutnya semua yang terjadi hanyalah sebuah kepingan masa lalu. Semua yang terjadi di masa lalu pasti memiliki alasan tersendiri yang tidak perlu untuk di ingat kembali karena dia hidup bukan untuk mengenang masa lalu namun hidup untuk masa depan.

Biarlah masa lalu menjadi sebuah pelajaran dalam hidup. Jangan di jadikan sebagai tumpuan dan terbelenggu dalam ingatan masa lalu karena bagaimanapun juga kehidupan terus berjalan.

Tapi jika Lee jong je masih hidup mungkin semua akan menjadi berbeda. Meskipun masih ada beberapa pemikiran yang membingungkan dalam pikiran Quinza.

Kenapa mimpi itu selalu hadir di saat dia tertidur?

"Quinza"

Suara kakeknya terdengar yang ternyata dia sudah berada di depan pintu kamarnya.

"Kakek, sejak kapan kakek berdiri di depan pintu?"

"Dari setengah jam yang lalu, apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Tidak ada"

"Kemarilah ada yang ingin kakek tunjukan kepadamu!"

Quinza menganggukan kepala sembari berjalan mengikuti langkah kakeknya.

Tibalah mereka di depan sebuah ruangan yang pintunya terantai oleh gembok melingkari knop pintu.

Quinza hanya diam mengerutkan kening melihat kakeknya membuka gembok pintu.

Kini pintunya terbuka lebar, mata Quinza yang tidak lepas mengamati seisi dalam ruangan yang masih berdiri di depan pintu.

Udara di dalam ruangan itu terasa lembab hingga tercium pengap di indra penciumannya.

Jendala yang tertutup begitu rapatnya dengan gorden berwarna hijau yang kini warnanya terlihat kelam kehitaman karena di lapisi oleh debu yang menempel. Entah seberapa tebal debu di ruangan ini tidak dapat di perkirakannya.

Ruangan yang sudah begitu jelasnya tidak terawat dan tidak pernah di bersihkan. Hingga sarang laba-labapun hinggap di mana-mana.

Di dalam ruangan hanya terdapat beberapa lemari yang di letakan berjejer di setiap pinggir menyentuh permukaan dinding, lemari dengan berbentuk ratusan laci berukuran sedang tertutup rapat di selimuti oleh debu.

Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat beberapa barang entah itu apa Quinza tidak mengetahuinya karena tertutupi oleh kain putih yang sudah menghitam karena debu.

"Quinza, kenapa hanya berdiri saja, masuklah!"

Suara kakeknya yang sudah berada di dalam ruangan kian membuka semua jendela dengan menggeser gordennya ke samping.

Dengan begitu Quinza dapat melihat dengan jelas seisi dalam ruangan.

Memiliki dekorasi terlihat unik mengesankan, jika di lihat ruangan ini memiliki seni tarik yang berbeda. Dengan dugaan jika orang yang mendekorasinya adalah seorang seniman.

Kakek Lee membuka semua kain yang menutupi barang-barang yang ada di dalam ruangan.

Keterkejutan yang tidak terduga oleh Quinza hingga membuat kakinya melangkah masuk ke dalam.

Berbagai macam lukisan indah terlihat sangat hidup.

"Ini semua adalah lukisan ayahmu, dia adalah seorang seniman terkenal. Tadinya kakek sempat melarangnya karena kakek ingin dia mengikuti jejak kakek sebagai seorang pengusaha. Tapi di saat kami tahu ayahmu mengidap penyakit kanker. Akhirnya kami menyetujui dan membiarkan keinginannya menjadi seorang seniman, hanya dengan cara itu dia bisa merasa bahagia."

"Apakah di saat itu ayah sudah menikah?"

"Iya, dia sudah menikah dengan ibumu!"

"Lalu apa kakek tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya di inginkan oleh ayahku?" Quinza berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada lukisan yang kian di tatapnya.

Lukisan yang memiliki makna tersendiri, dari segi pandangan Quinza jika lukisan-lukisan ini terlihat jelas sang pelukis merindukan seseorang.

Kerinduan yang hanya bisa terlampiaskan melalui sebuah lukisan.

Baginya mengartikan sebuah lukisan itu sangatlah mudah, karena pada dasarnya sebuah lukisan tercifta karena adanya kontak perasaan baik itu dalam keadaan sedih, maupun bahagia.

Kadang kebanyakan orang hanya bisa menikmatinya tanpa harus mengartikan atau mengetahui makna dari lukisan tersebut.

*****

2021

KADO TERAKHIR (END, Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang