(16)

404 33 3
                                    

Hidup itu adalah sebuah pilihan
Dimana kita berhak untuk memilih
Meski tuhan sudah menetapkan takdirnya untuk kita

Tapi apa salahnya jika kita selalu berharap sesuatu yang layak untuk di harapkan.
_____

Elios

Setelah mengantar Quinza, aku pulang kerumah.

Aku yang masih duduk di dalam mobil tepatnya di depan gerbang rumahku, sebelum masuk kedalam aku masih menatap rumah besar ini, rumah yang sekarang bagaikan neraka bagiku. Rumah yang mengharuskanku untuk pergi dan tinggal di sebuah kos-kosan terdekat dari sekolahku.

Rumah besar dari keluarga Almaoz, jika di pandang dari luar sangatlah besar, mewah dan megah, terlihat damai penuh dengan kebahgiaan, mampu membuat semua orang tertipu. Hingga masuk media sosial, berita di televisi hingga majalah-majalah intertaiment, sampai seluruh dunia mengetahuinya jika kami adalah keluarga besar yang bahgia.

Namun siapa yang tahu jika di dalam sana adanya kesedihan, sebuah keluarga besar dalam keadaan terombang ambing menuju kehancuran dan aku berusaha berperan sebagai penyelamat keluarga.

Kadang harapan tidak sesuai dengan apa yang di inginkan, meski hati menginginkannya namun mulut berkata lain.

Kembali kepada kehidupan yang mengharuskanku untuk memilih realita kenyataan yaitu logika atau hati.

Logika yang membuatku harus berpikir keras sementara hati membuatku larut dalam kesedihan teramat yang mungkin akan aku sesali seumur hidup.

Tapi aku hanya meyakini sebuah takdir, jika dia takdirku maka apapun yang akan terjadi tidak akan bisa mengubah segalanya, sekeras apapun usahanya untuk melupakan, maka usahanya tidak akan berhasil, karna pada dasarnya aku tetap mencintainya, dan tidak pernah berpaling ataupun membiarkan wanita lain masuk kedalam hatiku.

Dengan hati yang berat ku kembali melangkahkan kaki memasuki rumah besar kediaman keluarga Almaoz dengan perlahan.

Tidak ada yang berubah sejak aku meninggalkan rumah ini, semua pelayan menyambut kedatanganku berbaris berjejer di depan pintu, hanya memberi ruang kosong di tengah-tengah mereka untuk aku lewati.

"Selamat datang tuan muda Ray...!"

Akupun meminta mereka untuk melanjuti pekerjaannya masing-masing.

"Anda mau minum apa tuan muda?"

Kepala pelayan berkata setelah yang lainnya pergi untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda.

"Terimakasi, aku datang untuk menemui bunda, aku sangat merindukannya!"

"Beliau ada di kamar tuan muda..!"

Menaiki anakan tangga, berjalan ke lantai dua dimana kamar bunda berada.

Pintu yang sedikit terbuka mempermudahkanku melihat suasana di dalam kamar bunda.

Mengepalkan kedua telapak tangan, terasa pilu di hati melihat keadaan bunda yang sekarang, wajahnya terlihat sangat lusuh tidak terawat, entah kemana perginya glamor sosok nyonya besar Almaoz.

"Bunda" panggilku pelan.

"Ray, kau datang? Kenapa nggak beri tahu bunda terlebih dahulu, lagian tumben-tumbennya kamu datang selarut ini?"

Aku diam melihat pergerakan bunda yang sedang mengacak-acak meja riasnya, lalu menata kembali riasan wajahnya yang sudah terlihat luntur dan merapikan kembali rambutnya yang berantakan dengan memilin-milin hingga menjadi model belonde.

Sekarang aku kembali melihat sosok bunda yang ku kenal.

"Bagaimana, bunda sudah cantik kan sayang?"

Tidak ku sangka ternyata selama ini bunda berlaku sedemikian hanya di depanku dan di depan banyak orang, menutupi wajah sedihnya dengan mik-up.

KADO TERAKHIR (END, Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang