Makanan ringan dan sepaket wine merah sudah didapat, tinggal menuju gedung tempat si pria yang menyelamatkannya bekerja. Wei Wuxian mengiriminya alamat gedung itu, letaknya tak terlalu jauh hanya perlu mengendara dengan mobil selama 30 menit dari tempat dia membeli bingkisan.
Esok, Jiang Cheng harus berterima kasih secara sungguh-sungguh atas usaha bosnya dalam mencari alamat dan memberinya sedikit uang milik tim.
Hal ini sangat jarang dilakukan Jiang Cheng. Tumbuh sebagai pria individu dari lingkungan yang mengharuskannya bertahan hidup dengan keras cukup membuat sifat kemanusiawiannya hilang. Jiang Cheng tak kenal rasa takut, belas kasih bahkan ketertarikan pada seseorang pun dia tak punya. Teman? Tak ada seorang pun yang ingin berteman dengan pria bertemperamen buruk yang hanya pandai berkelahi.
Orang tuanya meninggal sejak 20 tahun yang lalu, itu berarti Jiang Cheng sudah hidup sendirian berpindah tempat dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain sejak dia berusia 10 tahun.
Roda mobil berhenti tepat didepan pagar gedung tua tampak kusam dengan ilalang tinggi berayun dengan angin mengelilingi gedung. Jiang Cheng membuka ponselnya, mengecek kembali peta elektronik yang sudah dia pasangi alamat sesuai pemberian Wei Wuxian.
Jiang Cheng memutuskan untuk turun dari mobil, berkeliling sekedar mencari seseorang yang bisa dia tanyai. Angin malam pukul 9 musim semi membalut tubuh ramping setinggi 184 senti meter Jiang Cheng. Rambut cepak bewarna coklat gelap yang berkilau seakan cahaya bulan sedang mengecup puncak kepalanya bergerak lembut diterpa angin.
Semakin jauh dari mobil Jiang Cheng melangkah, namun gedung itu sangat sepi. Kemudian dari arah berlawanan tepat didalam gelapnya malam, siluet hitam dari arah hutan bergerak dengan gerakan cepat seakan terburu-buru hendak menangkap Jiang Cheng yang sedang mematung memahami keadaan.
Jiang Cheng segera tersadar saat orang itu melintasi dirinya begitu saja. Langkahnya sangat cepat, terpaan angin yang terasa menggerogoti jiwa Jiang Cheng. Auranya sangat kelam, seperti seseorang yang sangat putus asa. Tatapan mata tajam dan putus asa di kedua mata yang berbentuk mirip dengan milik anak anjing kecil mengisyaratkan setiap orang menepuk kepalanya tiga kali sambil berkata bahwa penolongnya telah datang.
Beberapa waktu kemudian sekumpulan orang berlari dengan nafas tersengal-sengal, namun ada satu orang yang dengan gigih tetap berlari lurus tanpa memperdulikan kedua rekannya yang menyusulnya dengan nafas diujung tanduk. Seakan tergugah dan paham dengan situasi Jiang Cheng mengokang senapannya dalam mode siap bertempur dan ikut berlari mengejar mereka bertiga.
Pelarian mereka hingga di stasiun bawah tanah, lebih tepatnya rel kereta api bawah tanah. Seorang pria bermandi keringat sebesar biji jagung dengan nafas tersengal menghimpit kan tubuhnya dipojok tembok, seakan memohon pada dinding untuk menelannya dari bahaya tiga serigala lapar yang hendak mengancam nyawanya.
Jiang Cheng sebagai anggota kepolisian yang gemar menegakkan keadilan secara alamiah mengetahui pihak mana yang memang sedang terancam dan yang mengancam, dia dengan mantap mengacungkan senapannya membidik salah satu besi tebal di atas dinding. Jiang Cheng sekilas menyambut tatapan memohon dari pria itu, sedikit menghantarkan keraguan. Namun segera dia lenyap kan dan pelatuk senapan pun ditarik.
Suara memekakkan telinga terdengar, menganggu setiap pendengaran manusia yang berada didekat sumber suara dan tak memakai pelindung. Jiang Cheng awalnya hendak membidik salah satu tungkai penyerang, tapi Jiang Cheng tau itu melanggar kode etiknya sebagai polisi.
Saat mereka sibuk menutup telinga, Jiang Cheng dengan telinga yang baik-baik saja segera menyelamatkan pria itu dan berlari dengan kencang memapah menuju tempat yang sekiranya bisa menyembunyikan mereka. Jiang Cheng tak bisa memikirkan dimana lokasi teraman, mereka hanya terus berlari saling memapah hingga sampai di mobil Jiang Cheng terparkir.
Begitu sudah masuk dan sabuk pengaman telah terpasang sempurna Jiang Cheng menancap gas dengan segera menuju kantor polisi tempatnya bekerja. Tempat mana lagi yang paling aman jika bukan kantor polisi?
Berbelok kesana kemari dengan kecepatan penuh sambil mengintip melalui kaca apakah musuh-musuh orang ini sedang mengejar mereka. Untung saja mereka tidak menyusul mobil Jiang Cheng dan membuat Jiang Cheng sedikit memelankan laju mobilnya.
Selama perjalanan pria itu duduk diam patuh menatap wajah berhias gemerlap cahaya bulan dan lampu jalanan yang seolah mempertegas keindahan yang menghiasi wajah seindah dewi yunani. Pandangan yang sulit diartikan tertuju pada seseorang yang pernah dia selamatkan.
Jiang Cheng tau jika pria disampingnya tengah menatapnya berkata dengan nada datar "Terpukau dengan ketampanan ku?"
Lan Xichen mengangguk, tapi segera menggelengkan kepalanya sebelum Jiang Cheng melihatnya. Tapi dugaan Lan Xichen meleset, Jiang Cheng sama sekali tak tertarik untuk meliriknya atau mengetahui jawaban dari pertanyaannya. Jiang Cheng hanya iseng melempar pertanyaan itu dan juga untuk menyadarkan Lan Xichen tentunya.
Sesampainya di kantor polisi Jiang Cheng menempatkannya disalah satu divisi yang memang menangani kasus-kasus seperti ini sedangkan dirinya kembali ke ruangan divisinya berada.
Wei Wuxian yang menggantikan Jiang Cheng berjaga terkejut saat melihat Jiang Cheng melangkah masuk dengan wajah pucat dan keringat membasahi wajahnya yang seindah dewi athena. "Kenapa kau kembali lagi bodoh?!" Wei Wuxian meloncat dari kursinya menghampiri Jiang Cheng yang berjalan tertatih ke tempat duduknya.
Dengan sigap Wei Wuxian merangkul tubuh Jiang Cheng, menuntunnya untuk berbaring di sofa. Wei Wuxian mengambil sebuah majalah mengipasi wajah pucat pasi Jiang Cheng dengan pelan. "Tolong ambilkan aku minum" ucap Jiang Cheng lirih.
"Apakah kau kira aku ini pembantu mu?! Aku ini bos mu!" Caci Wei Wuxian. Namun Wei Wuxian kemudian berdiri dan berkata "Tunggu disini, akan kuambil kan air mendidih untukmu"
Jiang Cheng melipat sikunya yang tak patah untuk dia gunakan sebagai penutup kedua matanya. Dia sangat lelah hari ini, cedera yang dia dapatkan di kepala sangat membuat kepalanya berdenyut nyeri.
Saat matanya hendak terpejam, Jiang Cheng tersentak saat merasakan tangan sedingin es kutub utara menempel pada pipi pucat nya. "Kau demam" seseorang yang menganggetkan nya adalah pria tadi, Lan Xichen.
Jiang Cheng melengos malas "Nanti juga hilang" lalu menutup kembali matanya dengan siku. Jiang Cheng merasakan pria tadi berdiri dan berjalan menjauh, tapi dia tak peduli dan lebih memilih untuk melanjutkan acara tidurnya yang sempat tertunda.
Lan Xichen melangkah kedalam kamar mandi, mengeluarkan sapu tangan bersih yang dia simpan di dalam saku celana. Kemudian sapu tangan itu dia basahi dengan air mengalir dan tak lupa memerasnya. Setelah dirasa sudah cukup pantas untuk dibuat mengompres seseorang, Lan Xichen kembali ke tempat Jiang Cheng berbaring menyingkirkan siku dari wajah Jiang Cheng. Menyingkap rambut dari dahi dan meletakkan sapu tangan setengah basah itu disana. Jaket yang melingkupi dirinya dia copot untuk dia berikan pada tubuh Jiang Cheng yang sedikit menggigil.
Lan Xichen duduk dibawah, mengamati kembali seseorang yang dinilainya sangat aneh bagi dirinya. Biasnya Lan Xichen akan bereaksi waspada pada tiap orang yang dia jumpai, namun saat dia melihat Jiang Cheng reaksi itu tak muncul. Justru dia merasa Jiang Cheng lah orang yang selama ini dia cari.
-
-Berikan kritik dan saran kalian serta dukungan yang banyak bagi penulis amatiran ini 😊💙💜
Aku sangat terbuka dengan semua saran dan kritik dari kalian looo.😁
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Side (Xicheng) ✅
Science FictionApa jadinya bila sekumpulan orang pintar berada di jalan keburukan? "Aku bukan monster" Xichen berusaha meyakinkan pria yang sedang menodongnya dengan pistol. "Buktikan!" Bentak pria itu. Xichen dengan berani tanpa sedikitpun rasa takut mendekat mem...