Mengantar

60 7 5
                                    


Karya @Hawapratama (Poetree Malu)



Selamat membaca!

Jangan lupa like & komen.



Aku diminta Ayah untuk mengantarkan adik ketigaku, Tika. Aku berfirasat bahwa Tika sudah selesai memakai seragam.

"Tidak sama Mas Yaya tadi, Tik?" tanyaku pada Tika, sama artinya menolak Ayah. Entahlah, aku cuma merasa agak malas saja, sehingga mengeluarkan pertanyaan itu. Sebenarnya aku tidak mau memasukkan kata malas dalam hidupku, tetapi kata itu tidak bisa aku hilangkan sampai kapan pun. Yah, aku hanya tidak suka dengan kata itu dan kata-kata lain yang disukai setan.

"Tika tidak mau, sih," sahut Cici, adik keduaku.

"Sudah, antarkan saja. Tunggu Tika di sana sambil HP-an dan jajan."

"Aku puasa." Lagi-lagi aku refleks bicara.

"Hari apa ini?"

"Selasa," jawab Cici.

"Ganti puasa mungkin, ya."

Itu tidak benar. Aku juga tidak dapat mengatakan jenis puasa apa yang kujalani kepada ayah dan lainnya. Sebenarnya aku puasa sunah di bulan Sya'ban. Rasulullah banyak melakukan puasa sunah di bulan ini, jadi aku juga ingin mengikutinya. Lagi pula, umurku sudah 21 tahun, umur minimal yang katanya ideal untuk menikah. Dalam sunah Rasulullah, jika belum mampu menikah, umat Islam dianjurkan untuk berpuasa, sehingga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Asal Anda tahu saja, belum ada satu pun pria yang melamarku. Eh, kalau ada yang melamar, kayaknya aku menolaknya, sebab kuliahku belum tuntas.

Aku mematikan data seluler, lalu kukantongi HP-ku. Aku beranjak dari duduk di atas kasur depan TV. Berjalan ke meja, tempat kunci motor diletakkan. Benda yang kucari tidak ada. Apa aku tidak melihatnya karena mataku minus? Tetapi kan aku cuma minus satu. Apa aku tidak teliti?

Aku seperti mendengar suara Tika yang memberi tahu kalau kuncinya masih terpasang di motor. Setelah kuperiksa, ternyata benar, kunci motor belum dilepaskan dari kontak motor. Aku menggeser motor ke pintu depan, jalan satu-satunya untuk mengeluarkan motor atau sepeda dari dalam rumah. Baru mau mengendarai motor, aku teringat sesuatu. Aku turun dari motor, lalu berjalan kembali ke arah TV.

"Ada apa, Mbak?" tanya Cici.

"Lupa maskeran." Aku masuk kamarku di belakang TV. Kupasang maskerku, menutupi hidung dan mulutku.

"Kok bawa celana seperti itu? Kalau Pae, ya tidak apa-apa," tegur Ayah.

Aku memakai celana kolor warna hitam. Apa salahnya? Aku tidak tahu. Jujur, aku benar-benar tidak tahu. Dahulu, celana yang kupakai ini adalah celana Ibu. Aku bertanya dalam hati, dahulu Ibu keluar rumah pakai celana ini tidak, ya?

Mau bertanya langsung, tetapi tidak mungkin aku akan mendapatkan jawabannya. Bertanya ke orang-orang sekitar juga tidaklah mungkin. Pertanyaanku bisa dianggap sebagai pertanyaan konyol. Imbasnya bukan saja membuatku malu, tetapi aku juga bisa memalukan keluargaku. Tahu atau ingat, 'kan, pepatah tentang kesalahan satu orang, semua orang terkena akibatnya?

"Biarkan saja. " Aku tidak mau ganti celana maupun merangkapnya dengan rok. Pokoknya, aku mau berangkat sekarang.

Tika naik motor ketika aku berhenti di halaman rumah. Aku menjalankan motor ke tepi jalan terlebih dahulu. Saat mau ke jalan raya, aku hampir tergelincir. Sepertinya itu terjadi karena bentuk ban, bentuk jalan raya, dan permukaaan tanah samping jalan raya yang lebih rendah daripada jalannya, sehingga menyulitkanku ke atas jalan raya.

"Pae yang mengantarkanku saja, gimana, Mbak?" usul Tika.

"Nggak usah. Sabar, sabar." Aku memajukan motorku. Akan memalukan jika Tika memanggil Ayah untuk menggantikanku. Pasti Ayah akan merendahkanku dengan marah. Aku ini termasuk orang tidak suka dimarah. Awas saja jika ada yang begitu padaku, bisa kudoakan dengan doa buruk sesadis-sadisnya. Bukannya begitu? Saat marah menguasai kita, doa buruk adalah salah satu bentuk ketidakterimaan?

Akhirnya, rencanaku berhasil. Selama perjalanan, aku menyesal dalam hati. Seharusnya dari awal aku tidak menolak perintah Ayah. Seharusnya aku juga tidak mengatakan kalau diriku berpuasa. Aku menghela napas panjang. Ternyata sia-sia saja mengeluhkan sesuatu yang sudah terjadi, tidak akan ada yang berubah.

Aku memegang ujung kerudung yang menjulur ke dadaku. Angin bertiup kencang, membuat bagian itu menutup wajahku. Sangat berbahaya jika penglihatanku terhalangi. Aku pernah mengalaminya dan untung saja Allah menyelamatkanku. Aku aman bersama adikku saat itu.

Sampai juga aku dan Tika di SMP Negeri 1 Simo. Aku berhenti di depan sekolah. Tika turun dan berkata, "Mbak tidak pulang?"

"Iya, nanti aku tunggu di sana." Aku menunjuk Balai Desa Pelem.

"Oke."

Aku memutarkan motor ke jalan raya. Melaju beberapa meter ke balai desa dekat sekolah Tika untuk memarkirkan motor. Sebelum mencuci tangan, aku melihat ke sekitar. Kali saja ada hal yang bisa kujadikan objek foto. Harapan tinggallah harapan. Tidak ada bunga mekar di sekitarku. Aku pun mencuci tangan. Benar, sekarang masih dalam masa pandemi korona. Duduk di tempat yang tidak terkena sinar matahari memang nyaman, apalagi jika akan memainkan HP.

Kuputuskan kali ini aku akan menulis cerita untuk melanjutkan cerita yang bersambung di platform kepenulisan. Aku sudah bertekad sejak perjalanan tadi. Ternyata aku bisa menulis lebih dari 10.000 karakter. Memang aku tidak mengecek jumlahnya, tetapi di aplikasi Catatan HP-ku itu maksimal 10 ribu kata per lembar. Tentu, saat tidak muat, sebagian dipindah ke lembar yang lain.

Sebelum aku menyelesaikan tulisanku, kurasakan Tika menemuiku. Saat aku mendongak, perasaanku tidaklah salah. Tentu saja aku terkejut. Seingatku, Tika pulang jam sepuluh. Kutahu saat menguping pertanyaan Ayah tentang kapan Tika keluar kelas. Kuyakin ini belum jam sepuluh. Terbukti dari jam di HP-ku yang menunjukkan pukul 08.35. "Sudah rampung, Tik?"

"Sudah. Mbak, aku mau beli isi pulpen dulu."

Aku teringat percakapan Tika kemarin, Tika kehabisan pulpen cairnya. Sebelum Tika pergi ke toko, Tika menyerahkan selembar kertas padaku. Setelah kubaca dengan cepat, ternyata itu brosur promosi bimbingan.

Usai Tika kembali lagi, Aku dan Tika berjalan ke motor. Kuputar motor agar dapat mudah mengendarainya ke jalan raya. Setelah Tika naik, Tika berpesan padaku untuk berhati-hati. Aku tidak menjawabnya, tetapi aku masih mendengarkannya.

Ketika berbelok ke jalan ke rumahku, aku sempat melihat ular kecil yang bergerak di samping kananku. Mau kulindas, tetapi aku gagal.

Selama perjalanan selanjutnya, aku merasakan pinggangku yang lebih dingin dari sebelumnya. Kucoba merapikan bajuku. Setelah dugaan buruk menjadi benar, aku langsung beristigfar. Aku berharap tidak ada orang yang melihat kulitku di bagian itu. Sungguh memalukan jika menjadi perhatian. Mereka pasti akan berpikir yang tidak-tidak, anak apa aku ini? Berkerudung, tetapi dj sisi lain ditunjukkan? Benar-benar tidak maksimal dalam menjalankan perintah-Nya.

Tidak lama kemudian, aku dan Tika sampai di rumah. Kulanjutkan tulisanku yang tertunda tadi di kamar. Ternyata saat aku lelah menulis dan ingin bermedia sosial, ceritaku belum selesai juga. Padahal sebelum hari ini, aku ingin tulisanku selesai dalam satu bab. Dugaanku itu salah. Rencana tidak sesuai kenyataan, tetapi aku tetap senang karena dapat menulis meskipun belum setengah alur. Kali saja bisa menjadi novelet. Iya, 'kan?



Selesai



Terima kasih sudah membaca.

Jangan lupa like & komen.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang