Mie Ayam

8 2 10
                                    


Karya: Karen Angel

"Bang, sambelnya mana ya?"


Lingkaran kuning di atas langit menyinari sebuah jalan aspal. Di sebelah jalan itu rimbun pepohonan tua yang masih berdiri tegak, sedangkan di seberang lainnya menjadi tempat berpijak bagi Pak Bambang, gerobak bakminya dan tenda hijau yang menudungi gerobak itu.


"Bentar ya, pak," respon Pak Bambang dengan sigap. Lelaki berusia kepala tiga itu telah cukup lama berdagang di sebelah timur jalan raya itu, namun semangatnya melayani tak kunjung tumpul, bahkan untuk hal-hal sekecil mengisi botol sambel kembali.


"Ini, silahkan pak," katanya dengan sebotol sambel dan sendok kecil diletakkan kembali di atas meja kayu bertaplak. Pembeli yang makan di tempat itu langsung mengucapkan terimakasih dan menuangkan sambel ke mangkuk bakmi yang masih penuh.


Sayang sekali yang ini kelihatan sibuk, kata Pak Bambang dalam nalar. Pedagang bakmi itu bisa kita anggap sebagai seorang ekstrovert, yang suka mengajak dan diajak berbincang dengan berbagai tipe orang. Namun kali ini, pria gemuk yang menjadi pelanggannya nampak tertutup dan tidak begitu ramah, jadi tidak ada kesempatan untuk mengibas kesepian.


Tak lama kemudian, isi semangkuk bakmi telah lahap ditelan. Sesuai dugaannya, pria itu hanya langsung membayar sebelum pergi dengan langkah yang tergesa-gesa. Pak Bambang hanya bisa menghembuskan nafas ikhlas, sebelum kembali mencuci mangkuk dan garpu yang kotor.


15 menit berlalu, tapi jiwa Pak Bambang yang suka bersosialisasi mulai lelah menunggu teman berbicara, alias konsumen. Biasanya ada Maman di sini untuk bersenda gurau karena sepi, namun sekarang tetangga dagangnya cuti berjualan baso selama 2 minggu.


Tenggelam dalam lamunannya, Pak Bambang tak sadar bahwa ada calon konsumen yang sedang berjalan ke gerobaknya.


"Gak mau! Gak mau makan bakmi! Mau chiki!", rengek seorang anak kecil yang ingin menggigit lengan kakaknya.


"Yaya, kalau kamu makan chiki doang nanti gigimu sakit loh. Lagipula mau makan 10 bungkus juga gak bakalan kenyang," balas kakaknya, sambil terus mengelak gigitan adiknya.


"Gak mau tau! Chiki enak! Aku cuma mau chiki!", adiknya terus merengek. Kakinya yang menginjak dengan keras ingin membantah dengan lari ke rumah, namun tampaknya ia tak bisa bebas dari kakaknya semudah yang ia ingini.


Beberapa puluh langkah ke tenda hijau itu dipenuhi dumelan Yaya, namun Andi tetap mengacuhkannya. Akhirnya, mereka sampai juga ke gerobak itu.
"Pak, saya mau beli bakmi dong," kata Andi.


Pak Bambang menyambut, "Boleh, nak. Mau beli mi apa? Ada mi ayam, mi yamin, sama mi polos."
Yaya menyahut, "Gak mau tiga-tiganya! Aku cuma mau snack!"


Andi seketika menegurnya, "Yaya! Bapak ini gak jualan snack! Kamu juga harusnya ngomong dengan sopan dong!" Kemudian ia berbalik kepada Pak Bambang, "Tolong maafin adik saya, ya pak. Dia masih gak gitu ngerti sama keadaan."


Pak Bambang membalas, "Oh gak pa pa nak. Namanya juga anak-anak. Kalian udah jalan kaki siang-siang gini, apa gak mau duduk?"


Melawan keinginan Yaya, Andi menjawab, "Boleh." Yaya tak berkutik dan hanya menekuk muka sampai mereka duduk.


"Di sini menunya ada apa aja ya pak?", tanya kakaknya.


Sambil menghadap ke gerobaknya, Pak Bambang kembali menjawab dengan nada riang, "Mmm, ada mi ayam biasa, mi yamin manis, sama mi polos. Kamu mau pesen yang mana, nak?"


"Mmm, saya mau pesen mi ayam 1 sama mi yamin 1 ya pak. Mi ayam makan di sini, mi yamin tolong dibungkus sama kuah. Boleh kan pak?", tanya Andi.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang