Aku Bukan Mereka

9 1 10
                                    


Aku Bukan Mereka

Oleh : Elamirat

Baru saja Qyara tiba di rumah. Namun, ibunya sudah memberikan pertanyaan beruntun kepadanya. Padahal Qyara merasa sangat letih. Apalagi saat pelajaran olahraga pagi tadi, kelas XI mendapat tugas lari. Kini kedua kakinya merasa sakit seakan mau putus.

Qyara bukanlah siswi yang suka berolahraga. Bahkan, ia memiliki riwayat penyakit magh. Seringkali napasnya terengah-engah selepas berlari. Wajahnya tampak merah panas. Beruntung setelah itu jadwal kelas mereka adalah istirahat. Tidak bisa dibayangkan kalau ada kelas setelah pelajaran olahraga. Pasti semua murid akan tertidur pulas karena kelelahan.

Qyara izin masuk ke kamarnya. Ia tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan ibunya. Ia bahkan sudah hafal. Setiap hari, ibunya terus mengulang pertanyaan yang sama. Ia selalu saja membandingkan Qyara dengan Ayra–anak tetangga sebelah rumah mereka.

"Kenapa baru pulang?"

"Kayaknya Ayra sudah pulang dari tadi. Lihat, tuh. Dia rajin banget. Enggak kaya kamu."

"Lain kali kalian pulang bareng aja. Masa satu sekolah enggak pernah bareng, sih."

Pertanyaan dan pernyataan lain juga dilontarkan. Tetapi, Qyara tidak pernah menanggapi ibunya. Ia juga malas memberitahu bagaimana sikap Ayra di sekolah. Entah, kenapa dia bisa memiliki dua kepribadian yang berbeda.

Selepas mandi, Qyara duduk di ruang tamu untuk menonton televisi. Ibunya memanggil dan menyuruhnya segera makan. Saat itulah ia bisa berbincang dengan ibunya. Ia memberitahu alasan kenapa ia pulang terlambat. Sepulang sekolah ia harus menghadiri rapat pengurus Pimpinan Komisariat (PK–organisasi setingkat dengan OSIS). Kegiatan bulan bahasa akan segera diadakan di Madrasah Qyara. Sebagai pengurus PK, ia juga harus mengurus dan mempersiapkan kegiatan dengan baik.

Keesokannya sebelum berangkat, Qyara berpamitan dengan ibunya sekaligus meminta izin. Ia tidak mau ibunya merasa khawatir. Rapat kemarin belum mendapatkan keputusan akhir. Jadi, akan diadakan rapat lanjutan. Wajar saja, sebab rapatnya dilaksanakan secara mendadak. Beberapa pengurus PK juga banyak yang tidak hadir. Kalau saja kemarin Clarissa tidak memberitahunya, Qyara pasti langsung pulang.

Pada rapat lanjutan, lebih banyak pengurus yang hadir. Mungkin hanya dua atau tiga orang yang berhalangan hadir karena urusan penting. Tanpa berlama-lama, sepulang sekolah mereka berkumpul di kantor PK. Ketua beserta panitia kegiatan pun dibentuk. Qyara mendapat amanah sebagai sekretaris. Mau tidak mau, Qyara harus menerimanya. Hasil voting menunjukkan ia lebih unggul. Padahal, Qyara berusaha sekeras mungkin agar tidak terlibat kepanitiaan kali ini.

Rapat akhirnya selesai. Qyara bergegas pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang saat ia tiba di rumah. Tampak Ayra berada di depan pintu rumah. Melihat Qyara datang, lantas ia menghampiri Qyara. Ayra berniat mengajaknya ke luar malam nanti. Tetapi, Qyara menolak tegas. Malam Minggu adalah rutinitas Ayra bersama teman-teman lainnya pergi. Entah itu jalan-jalan atau berkunjung ke suatu tempat.

"Beneran kamu enggak mau ikut?" tanya Ayra sebelum pergi. Qyara menggeleng cepat menandakan ia menolak ajakan Ayra. Terakhir kali mereka bertemu yaitu setelah Qyara menyapu teras rumahnya. Bukan sekali ini Qyara menolak ajakan Ayra. Menurutnya, daripada jalan-jalan dan bermain ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar. Apalagi ia baru saja terpilih menjadi sekretaris acara bulan bahasa, ia tentu sibuk mengurusnya.

***

Ketika masuk sekolah, begitu banyak gosip menyebar. Hingga terdengar oleh Qyara. Dalam hati ia bersyukur. Namun, di sisi lain ia juga merasa iba pada Ayra. Pasalnya, Ayra dan teman-temannya yang pergi malam Minggu kemarin dipanggil ke kantor.

Mereka mendapat teguran dan sanksi akibat melakukan kerusuhan saat di pasar malam. Kepala madrasah menskors mereka selama seminggu. Selain itu, mereka juga harus menulis surah Yasin sebanyak tiga kali. Pihak madrasah berharap dengan hukuman itu, mereka akan jera dan tidak mengulangi kesalahan mereka lagi.

Lima hari sudah Ayra berdiam diri di rumah. Ketika Qyara berangkat sekolah, Ayra mencuri pandang di balik jendela. Namun, Qyara mengalihkan pandangannya kemudian berlalu cepat.

"Qyara berangkat, ya, Bu. Assalamu'alaikum," pamitnya. Ia pun bergegas pergi dengan sedikit berlari.

Sesampainya di madrasah, ia langsung menuju kelas. Membersihkan lantai dan papan tulis, serta menata meja guru. Teman sekelasnya belum ada yang datang. Jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh. Biasanya bel pertama berbunyi pukul tujuh lewat dua puluh menit.

Semua murid berbondong-bondong menuju lapangan, baik yang di dalam kelas maupun yang masih di luar halaman madrasah. Qyara mengambil barisan kedua dari depan. Upacara rutin kali ini dilaksanakan dengan tertib dan tenang. Tidak ada lagi siswi yang seenaknya sendiri. Ayra dan temannya sering berisik saat upacara berlangsung. Tak jarang mereka menjadi pusat perhatian.

Sekali, pernah terbesit iri pada Qyara. Ayra merupakan siswi yang begitu populer di Madrasah mereka. Dengan wajah cantik dan perkataannya yang manis membuat Ayra mudah dikenali orang. Namun, lama kelamaan Qyara tahu sifat dan perbuatan buruk Ayra. Ia segera menepis rasa irinya. Ia mengatakan pada dirinya agar bisa menjadi diri sendiri. Menjadi Qyara yang tetap baik, meski tidak banyak yang tahu keberadaan dirinya. Toh, iya juga tidak perlu pengakuan dari orang lain.

***

"Qyara, sudah selesai belum? Makan malam dulu."

"Iya, sudah selesai, Bu."

Qyara merapikan buku pelajarannya, lalu menuju ruang makan. Hidangan makan malam berjejer. Membuat nafsu makan Qyara bertambah. Segera ia mengambil secentong nasi, ayam goreng, tumis kangkung, serta sambal. Tidak butuh waktu lama, ia sudah melahap habis makanannya.

Qyara beranjak ke dapur untuk mencuci piring. Namun, ibunya memanggil.

"Qyara, kalau sudah selesai makan, tolong antarkan ini ke rumah Ayra, ya."

"Apa ini, Bu?"

"Makanan. Tolong kamu bawakan ini untuknya, pasti dia belum makan. Kasihan Ayra sendirian di rumah. Orang tuanya pergi ke luar kota sejak kemarin."

"Baik, Bu. Sekalian aku mau mengantarkan bukunya."

Qyara mengetuk pintu rumah Ayra. Ia menunggu cukup lama di depan rumah. Tidak ada jawaban apa pun dari dalam. Ia pun mencoba membuka pintu rumah Ayra, ternyata tidak terkunci. Ia masuk pelan-pelan. Tampak televisi masih menyala di ruang tamu. Ia meletakkan makanan dan buku Ayra di meja.

"Ayra. Kamu kenapa?" tanya Qyara.

Ayra hanya bergumam. Setelah Qyara mengecek keningnya, ternyata Ayra demam. Qyara segera kembali pulang dan memberitahu ibunya. Mereka berdua kembali ke rumah Ayra dengan membawa obat. Qyara memapah Ayra berjalan ke kamarnya. Ia juga menyuapi makan Ayra dan menyuruhnya menelan obat.

***

Pagi harinya, Ayra sudah merasa lumayan baik. Qyara dan ibunya akhirnya pulang ke rumah setelah membuatkan Ayra sarapan. Semalam mereka menginap di rumahnya. Qyara memberitahu ibunya mengenai perbuatan dan masalah Ayra selama di sekolah. Meski Qyara tidak suka perbuatan buruk Ayra namun, bukan berarti ia membencinya.

Setelah kejadian itu, Qyara dan Ayra selalu berangkat sekolah bersama. Perlahan sifat buruk Ayra hilang. Ia menjadi siswi yang lebih tertib dan taat peraturan sekolah. Ia pun berterima kasih pada Qyara. Mereka berdua akhirnya berteman baik.

Qyara merasa sangat senang. Ibunya yang dulu seringkali membandingkan dirinya. Kini ia merasa bangga dengan perbuatan anaknya. Qyara berhasil mengajak Ayra berada di jalan yang lebih baik. Meski kebanyakan orang memilih menjadi pembenci dan menghindari. Qyara menjadi seseorang yang berbeda dengan sisi baik hatinya. Ia selalu memandang dari sudut yang berbeda dan menemukan hal-hal bermakna.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang