Ismi dan Sayur Asem

12 2 2
                                    

Oleh: Arika Wulandari

Ibuku seorang wanita yang sangat enerjik. Diusianya yang kini sudah mencapai 78 tahun tak pernah menyurutkan langkahnya untuk tetap beraktivitas di berbagai organisasi. Selain kegiatan pengajian, Ibu masih aktif dalam Dharma Wanita, GOW (Gabungan Organisasi Wanita), BKOW (Badan Koordinasi Organisasi Wanita) Propinsi, dan tak ketinggalan bersosialisasi di Kelurahan. Tentu saja sebagai penasehat, karena memang paling senior.

Beliau tinggal di Semarang ditemani adikku yang sehari-hari sibuk sebagai seorang PNS. Meskipun begitu, tidak menjadi penghalang bagi Ibu untuk bepergian tanpa ada yang menemani. Sebelum ada angkutan online, ada nomor kontak pengemudi taksi yang selalu siap mengantar ke mana pun.

Berbanding terbalik dengan diriku yang lebih senang melakukan kegiatan dalam rumah. Dengan dua orang anak yang sudah dewasa, keadaan ini sangat mendukung hobi rebahanku.

Anak perempuanku, Ismi, berwirausaha memproduksi kue. Kami berdua tinggal di Cirebon dan anak lelakiku bekerja di Jakarta.

Kegiatan Ibu tidak terbatas hanya di dalam kota saja. Seringkali ke luar kota selama beberapa hari. Kalau masih dalam satu propinsi dan tak lebih dari tiga hari kadang kami terpaksa menyetujui keinginan Ibu. Dengan berat hati mengantar Ibu bergabung bersama rombongan karena tidak ada yang bisa menemaninya.

Akan tetapi, bila sudah di luar Propinsi Jawa Tengah bahkan ke luar pulau Jawa, mau tak mau harus ada yang menemani Ibu. Maka, Ismi sebagai satu-satunya cucu perempuan, ditunjuk untuk mengawal neneknya. Apalagi sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia usaha mandiri, akan lebih mudah mengatur waktu kerjanya.

Pengalaman pertama Ismi mengantar Ibu adalah menghadiri Upacara Peringatan Hari Veteran Nasional di Jakarta. Tentu saja dari Cirebon harus ke Semarang dulu, kemudian berangkat bersama rombongan menuju Jakarta. Saat itu usia Ibu masih 73 tahun. Dengan penuh semangat beliau mempersiapkan segalanya sendiri, karena akan bertugas sebagai Dirigen pada Paduan Suara yang akan tampil mengisi acara.

"Eyang menangis, Bu, ketika dibacakan kisah sejarah pertempuran empat hari di Solo," cerita Ismi padaku.

Hari Veteran yang ditetapkan pada setiap tanggal 10 Agustus, adalah berdasarkan catatan sejarah, mengenang perjuangan para tentara dalam mempertahankan wilayah Indonesia. Pada saat itu terjadi serangan oleh tentara Belanda yang dikenal sebagai Agresi Belanda kedua. Belanda menyerang kota Solo (Surakarta) mulai tanggal 7 Agustus 1949. Pada tanggal 10 Agustus 1949 terjadi gencatan senjata karena kemenangan para tentara Indonesia.

Indonesia yang kehilangan banyak prajurit pada pertempuran sebelumnya, akhirnya membentuk satuan tentara yang terdiri dari para pelajar dan mahasiswa. Oleh Jendral Soedirman mereka mendapat nama khusus yaitu Pasukan Tentara Pelajar Brigade XVII.

Pasukan Tentara Pelajar ini terbagi dalam lima Detasemen.

Detasemen I di wilayah Jawa Timur, lebih dikenal dengan julukan Mas TRIP.

Detasemen II, dikenal dengan TP Solo.

Detasemen III, dikenal dengan TP Yogya.

Detasemen IV, dikenal dengan TP Siliwangi.

Detasemen V, atau TGP (Tentara Genie Pelajar) adalah pasukan tambahan yang digabungkan dengan keempat Detasemen sebelumnya. Dikenal sebagai pasukan ahli merancang jebakan, merakit dan meledakkan bom. Karena mereka berasal dari jurusan teknik.

Almarhum Bapak adalah anggota TP Solo yang saat itu dikomandani oleh Mayor Achmadi. Aku bisa membayangkan apa yang menjadi penyebab Ibu menangis. Pasti beliau teringat akan almarhum Bapak. Membayangkan remaja usia belasan tahun tanpa ketrampilan militer yang mumpuni dan dengan senjata seadanya harus berjuang melawan tentara Belanda yang sudah terlatih dan bersenjata lengkap. Sungguh sebuah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Namun semangat prajurit TP Solo dapat mematahkan serangan Belanda.

***

Kali ini, Ismi mengawal Ibu untuk kunjungan ke Bali bersama ibu-ibu dari GOW. Setelah anjangsana resmi selesai, adalah saat yang paling ditunggu para ibu. Berburu oleh-oleh khas Bali.

"Bu, Eyangnya udah dibilangin jangan ikut ibu-ibu masuk ke pasar sampai dalam nggak mau. Mudah-mudahan lutut Eyang nggak kambuh ya, Bu," cerita Ismi lewat telpon.

"Ya sudah, Mbak Ismi ikutin aja. Kalau terlihat mulai kelelahan, cari warung biar bisa duduk dan minum yang hangat."

"Ya Bu. Udah dulu ya Bu, Eyangnya mau ke toko pie susu," Ismi mengakhiri pembicaraan.

***

"Bu, kita makan malamnya di Pantai Jimbaran. Wuah, cantik sekali pemandangannya. Ditambah lagi semua menunya bikin nagih. Kombinasi yang luar biasa. Bikin mata dan perut sama kenyangnya. Piring Mbak penuh nih, Bu. Eyang hanya ambil secuil-secuil karena banyak yang dipantang, asal bisa ngicipin aja. Untung ada ikan bakar, kolesterolnya enggak setinggi udang. Pokoknya, di sini puas banget." Ismi kembali menelpon dengan nada gembira, tak sekesal siang tadi sewaktu acara belanja.

"Besok kita akan naik kapal pesiar, Bu. Malam ini kita diminta untuk segera istirahat setelah sampai di hotel."

"Oh, ya? Biasanya di kapal angin terasa kencang. Syal Eyang disiapkan dulu agar tidak ketinggalan. Hati-hati naik dan turun kapal ya," pesanku.

***

Sebelum pandemi menyerang, Ibu mengikuti acara kunjungan ke Palembang. Tentu saja, tugas Ismi tetap menemani Eyangnya.

"Bu, nanti sepulang dari Palembang, enggak mau cepat-cepat balik ke Cirebon. Ingin istirahat dulu di Semarang. Boleh ya, Bu?"

"Boleh, mau berapa hari?" tanyaku.

"Paling lama, seminggu lah."

"Sekarang sudah musim kemarau, mungkin nanti cuaca akan sangat panas. Jangan lupa siapkan minimal sebotol air minum dalam tas. Jadi tidak repot kalau haus, jaga agar tidak dehidrasi."

***

Rupanya acara sangat padat, Ismi hanya sempat menelponku dua kali saja dan itu pun sangat singkat. Dia hanya berjanji akan bercerita setelah pulang ke Cirebon.

"Bu, besok Mbak mau pakai kereta yang pagi, jemput ya Bu. Bawaannya banyak banget nih," Ismi mengabarkan rencana kepulangannya dan memintaku untuk menjemputnya.

***

Aku menunggu Ismi di pintu keluar sebelah Utara Stasiun Kejaksan. Sudah terdengar pengumuman akan kedatangan kereta. Tak lama kemudian terlihat Ismi keluar dengan barang bawaan yang lumayan banyak. Tas troli, ransel, dan tentengan tas belanja membuatnya terlihat seperti terbenam dalam tumpukan barang. Aku menahan tawa agar tidak menjadikannya cemberut. Setelah menaruh semua barang bawaan di bagasi, kulihat dia menghembuskan napas panjang.

"Capek, Nak?" tanyaku sambil meliriknya.

"Bukan capek lagi, Bu. Mungkin kalau bawa truk sendiri, segala macam oleh-oleh khas Palembang akan dibeli Eyang. Ini aja ada pempek Candy yang divacum, kue Delapan Jam, tempoyak, kaos suvenir, tenun Palembang. Itu pun dibeli buat semua anak, menantu, cucu, dan teman dekat Eyang, nggak ada yang terlewat. Bagasi sampai 'over load'. Nah yang dibawa ini, masih ditambah bandeng presto Juwana dan lumpia Mbak Lien. Sampai rumah mau langsung makan terus tidur."

Usai menurunkan oleh-oleh, Ismi langsung menuju meja makan dan membuka tutup saji.

"Ibuuu! Ibu masak sayur asem? 'Oh my God', tahu nggak Bu? Di Semarang, beberapa hari berturut-turut makan sayur asem, isi sayuran tinggal sedikit, ditambah sayur. Nanti kuahnya berkurang ditambahin lagi, begitu terus sampai empat hari. Soalnya selama di Palembang, Eyang nggak cocok dengan masakan yang ada karena serba pedas. Nah, kan Mbak yang jadi korban sayur asem. Sampai kalau lihat  jadi mual."

Aku tidak bisa lagi menahan tawaku. Sayangnya hingga hari ini anakku masih trauma terhadap sayur asem yang menyegarkan ini.

Cirebon, 22 Mei 2021

Arika Wulandari, ibu dua anak, tinggal di  Cirebon. Lahir pada 7 September 1963 di Semarang. Menyelesaikan S1-nya di Yogyakarta. Hobi membacanya sudah sejak masih SD, tetapi akhir tahun 2019 baru memulai belajar menulis. Kata mutiara dari Les Brown "You are never too old to set another goal or dream a new dream" menjadi motonya.

Tulisannya berupa artikel yang dimuat di Rahma.id menambah rasa percaya dirinya, bahwa impian barunya akan dapat tercapai.

FB: Arika Riries

IG: arika_riries

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang