SEPATU DAN SAHABAT
(Penulis Iin Indrawati)
Kubasuh wajah dengan dinginnya air meskipun terik matahari di luar sangat menyengat. Aku bergegas pergi sekolah karena jadwal masuk pukul 13.00. Sepatu semata wayang sudah setia menanti di depan pintu. Sekolah tidak membolehkan memakai sepatu berwarna lain. Upacara, belajar, olahraga bahkan kegiatan ekstrakurikuler lainya tetap menempel di kaki. Aku berpamitan kepada ibu yang sedang merapikan jualan untuk disimpan ke warung-warung sekitar. Sementara ayah masih sibuk membetulkan pintu yang rusak.
"Yah, Aisyah pamit!" Aku menarik tangan ayah meski kotor. Meminta restu kepada kedua orang tua adalah sumber keberkahan menjalani hidup.
"Sepatumu masih kuat Ais?" ibu keluar dari dapur memastikan kalau sepatuku masih bisa dipergunakan.
"Masih bagus kok, Bu!" Aku menyembunyikan kenyataaan kalau ternyata alas sepatuku sudah menipis, sedikit berlubang. Perekat antara sisi-sisinya mulai renggang. Ibu membelinya di kaki lima dengan harga murah.
Perjalanan ke sekolah memakan waktu sekitar empat puluh lima menit lewat perkampungan. Terletak di perbatasan antara kabupaten dan kota. Sebagian jalannya tanah dan aspal berlubang. Sudah hal biasa jika pergi kepanasan dan pulang kehujanan. Sepanjang perjalanan adalah wisata bagi mataku, meski sebagian perkampungan sudah beralih menjadi perumahan. Namun, pesona hijau di sepanjang jalan tetap indah dipandang. Memacu langkah cepat walaupun angin sepoi ikut menyibakan kerudung putihku.
Aku terus membayangkan pelajaran akuntansi jika terlambat harus mengejar ketertinggalan. Belum lagi pak Raden satpam penjaga sekolah yang sigap menutup gerbang sekolah.Aku berlari sembari membawa kantong berisi dagangan ibu yang akan dititip di kantin. Bersyukur hanya selang beberapa menit bel berbunyi. Napasku terengah-engah memasuki ruang kelas.
***
Sudah hampir tiga bulan ayah tidak kerja, ibu hanya bisa membantu untuk bertahan hidup berjualan keripik bawang yang dititip kewarung-warung. Semenjak ibu melahirkan Yusuf adik laki-lakiku, ibu sudah tidak bisa bekerja sebagai buruh cuci lagi. Pekerjaan ayah pun sebagai kenek bangunan sedang tersendat. Sesekali jika ada yang butuh jasa mengecat atau mencangkulkan sawah barulah ayah bekerja dan diberi upah.
"Apa tidak ada kabar lagi, Yah" Ibu terlihat kesal.
Disitu ada hak ayah, keringat yang harus dibayarkan. Masa tidak ada yang memperjuangkan datangi ke rumahnya?"
Terlihat ayah tidak menanggapi pembicaraan ibu. Sepertinya ayah akan memancing karena asyik dengan kailnya. Memancing salah satu hobi ayah menghilangkan kejenuhan sekaligus menjadikan lauk untuk makan atau dijual ke tetangga.
"Ayah, gimana, sih? Diajak ngomong sama istri tidak peduli!" ibu sedikit cemberut.
"Terus, ayah harus gimana, Bu?"
"Ya, bilang dan datengi mandor minta gaji ayah yang masih digantung," jawab ibu.
"Ayah sudah berusaha tidak diam. Diam ayah itu sambil berpikir, tidak seperti ibu ngomong terus. Mandor ayah rumahnya jauh, kalau kesana memang ibu mau ongkosin? Percayakan ke teman ayah, perwakilan yang datang kerumahnya. Nanti kita hubungi, pinjam handphone Aisyah untuk memastikan."
Kita sudah nunggak kontrakan hampir dua bulan, belum Aisyah sebentar lagi ujian kenaikan kelas." Wajah ibu terlihat muram.
Insya Allah semua pasti ada jalan, besok ayah coba menghubungi teman ayah lagi." Ayah berusaha menenangkan ibu yang sangat kebingungan.
Yusuf yang sedang tidur pulas terbangun menangis. Mungkin karena kaget, tidak biasanya padahal dia bisa tidur berjam-jam. Ibu yang saat itu sedang menggoreng keripik bawang memintaku untuk menggantikannya. Usia Yusuf baru satu tahun dan sudah bisa berjalan. Aku menunda tugas sekolahku memilih membantu ibu.
