Piring dan Kucing
Oleh: Sukma Rofiani
Berkali-kali tanganmu mengusap perut. Suara kemerucuk terdengar menggema di penjuru ruangan. Kakakmu yang duduk di sampingmu sampai menoleh. Kamu masih asyik dengan gawai. Tanganmu sudah cekatan beralih dan bekerjasama menyokong alat elektronik pintar itu. Kedua jempol menari gemulai.
"Sana! Makan! Kakak udah buat sop ayam kesukaanmu!"
Kamu hanya berdehem menanggapi kakakmu yang juga asyik dengan laptopnya.
"Bentar Kak, nanggung!" tambahmu.
"Terserah loh ya! Kakak nggak mau tahu kalau maagmu kambuh!"
"Tenang!" irit kamu menjawab peringatan kakakmu.
"Aku doakan kalah tuh game!"
Selesai kakakmu berdoa, kamu menggerutu karena kalah. Kamu berdiri dari kenyamanan dudukmu dan menowel kakakmu.
"Doa itu yang baik dong!"
Kamu melangkah menuju dapur, lalu mendekati rak piring. Kamu mengambil satu piring. Kamu mengendus piring di dekat hidung. Kamu putar sampai penuh satu keliling. Dahimu mengernyit. Piring kamu letakkan di cucian. Bak cucian yang berdampingan dengan rak tersebut. Kamu ambil lagi piring lain. Kamu melakukan hal yang sama.
"Ini piring kok bau semua sih, Kak!"
Suaramu meninggi. Kesal. Raut mukamu frustasi.
"Mulai saat ini, aku simpan piringku sendiri!"
Tidak lama, kakakmu berada bersamamu, duduk di kursi melihat tingkahmu. Kamu memandang kakakmu sekilas. Cemberut. Protes. Wajah kakakmu tidak berubah. Biasa. Kamu mulai sibuk dengan piring-piring lagi.
Kamu meletakkan piring ketiga yang kamu pilih ke rak kembali. Kamu mencuci dua piring yang kamu baui dengan tetesan sabun cair pencuci piring. Tidak tanggung-tanggung, kamu meneteskannya sebanyak sepuluh kali setiap piringnya. Berlebihan? Tidak bagimu. Ini akan menenangkan dirimu. Meyakinkan bahwa piring yang akan kamu pakai bebas kuman dan kinclong. Kesat.
Seperti iklan di televisi, kamu juga mengecek keberhasilan membersihkan piring dengan mengukir huruf v. Jari syahadatmu tergelincir, kamu mulai lagi menggosoknya. Kamu dengan perlahan menekan spon pembersih piring pada badan piring. Setelahnya, piring kamu biarkan di bawah pancuran. Setiap jengkal piring kamu usap lagi dengan telapak tangan. Sampai benar-benar berdecit.
Lama? Bukan! Itu bagian ritual yang kamu sukai. Setiap inci dari piring bisa kamu rasakan. Kamu dan piring bisa menyatu dan saling mendarah daging. Nikmat katamu. Lapar akan membayang sehingga saat makan rasanya benar-benar enak. Apapun masakannya. Piring yang kamu timang-timang tadi seolah tangan yang menengadahkan makanan kepadamu. Kamu menjelaskan demikian berkali-kali.
"Piring bersih dapat meningkatkan nafsu makan."
"Jelas! Sejak kapan kamu baru tahu?" tanya kakakmu.
"Sejak kucing Kakak hilang."
"Ming? Jangan-jangan itu ulahmu! Ngaku!"
Kakakmu berdiri mendekatimu. Wajahmu terlihat kaku. Retinamu berubah-ubah ukuran. Piring bersih kamu tinggalkan. Kakimu menjauh dari badan kakakmu. Sedangkan tanganmu membuat jarak.
"Tunggu Kak! Jangan marah dulu dong!"
"Ming masih ada kok. Nggak kabur kok!" lanjutmu terduduk di kursi makan.
Kakakmu berhenti menghadang. Kamu mengatur napas.
"Ming kabur ke rumah Mbah! Dia punya anak dengan kucing tetangga. Nggak mau pulang. Ming 'kan setia Kak."