Hororskop
Karya Dan
Kamu bangun dari tidurmu. Dengan mata yang belum terbuka sempurna, kamu berusaha melihat jam yang menempel di dinding kamar. Nampak rasa gelisah seketika menggelayut di wajahmu, saat yang kamu lihat adalah jarum pendek itu terparkir tepat di angka sembilan. Bergegas kamu beranjak pergi dari tempat tidurmu yang sebenarnya masih sayang kamu tinggalkan. Secepat mungkin kamu membersihkan tubuhmu di kamar mandi. Jangan sampai wajah khas bangun tidur itu terus menempel.
Sebuah janji yang disepakati lewat chat semalam, masih tersisa kurang dari satu jam. Kamu pacu sepeda motor warna biru itu agar cepat sampai di tempat yang sudah ditentukan. Memang dasar motor yang sudah ada sejak kamu masih duduk di bangku Sekolah Dasar itu, secepat apa pun melesat, jarum spidometer tetap saja tidak melebihi angka 60 km/jam. Bahkan di angka tersebut, selain suara knalpot, suara getaran bagian-bagian yang sudah kendor pun ikut memeriahkan laju motormu.
Traffic Light memang terkadang suka bercanda. Di saat butuh cepat sampai tujuan, dia seakan tidak mau diajak kompromi, selalu saja memberi lampu warna merahnya untukmu. Sudah tiga Traffic Light yang mampu menghentikan laju motormu. Begitu juga dengan Traffic Light terakhir ini, pas sekali menyala merah saat laju motormu masih berada di beberapa meter dan kamu tidak bisa mengejarnya.
Enam puluh detik, dalam keadaan berhenti di Traffic Light, bagimu sangat lama. Sesekali kamu melihat jam yang menempel di tangan kananmu, mengecek berapa waktu yang tersisa. Dari jam yang kamu lihat, jelas kamu akan terlambat tiba di sana. Gerak-gerikmu semakin tidak tenang.
Lampu merah itu masih menyala sekitar lima belas detik lagi sebelum berganti hijau. Di saat itu pula sebuah motor Ninja ZX-25R berhenti di sebelahmu. Sontak pandanganmu menoleh ke arahnya. Betapa terkejutnya kamu melihat sepasang manusia yang duduk berdempetan di atas motor warna hitam itu.
"Hai," sapa seseorang yang sebulan lalu resmi menjadi mantanmu.
Sapaan itu bagai sebuah batu yang sengaja dilemparkan tepat di wajahmu.
"Hai," balasmu. Jelas dilihat dari raut wajahmu, kata-kata itu sungguh berat terlontar keluar. Apalagi matamu sempat menangkap pemandangan yang membuat mata sakit.
Berhenti di Traffic Light dengan keadaan seperti ini, seakan lima belas detik tadi tidak pernah berjalan mundur. Ingin rasanya kamu melanggar lampu merah tersebut, tetapi kendaraan di depanmu berhasil membuat motormu tidak bisa bergerak sama sekali.
"Apa kabar?" ucap mantanmu lagi.
"Baik sekali." Jelas ucapmu berbohong padanya. "Kamu?"
"Seperti yang kamu lihat," jawabnya santai.
Lampu hijau kini menyala. Tangan kirimu refleks menekan tombol klakson. Ada dua alasan yang kini membuatmu ingin segera memutar gas dengan cepat.
Dalam perjalanan, tidak hentinya mulutmu komat-kamit seperti membaca mantra. Kamu yang sendirian di atas motor tadi, kini berteman dengan umpatan dan ungkapan penyesalanmu yang terdengar olehmu sendiri.
Di lahan parkir, kamu melihat jam tangan kembali. "Ah, sial. Terlambat lima belas menit," ucapmu kepada dirimu sendiri. Agar tidak semakin lama terlambat, kamu memutuskan untuk berlari menuju bangunan yang di depan pintu bertuliskan WARUNG POHON.
Di dalam, kamu tidak menemukan satu orang pun selain karyawan yang berjaga. Yang kamu lihat sudah jelas, tidak ada tamu selain dirimu, namun kamu tetap saja bertanya kepada karyawan itu perihal apakah tadi sudah ada tamu yang datang. Jawaban karyawan itu mampu menghapus rasa bersalahmu karena telat.
Sepuluh menit sudah kamu duduk di meja nomor tiga belas. Menunggu seorang klien yang sangat penting bagimu.
Tiba-tiba matamu menangkap dua orang masuk melalui pintu kaca transparan itu. "What the hell is this? And why this happen to me?" ucapmu penuh kesal. "Jangan bilang klienku adalah pacarnya."
"Eh, ketemu lagi di sini," ucap mantanmu dengan senyum yang sok manis. "Tahu gitu, kita bareng tadi."
Kamu hanya tersenyum mendengar ucapan dari mantanmu itu.
"Ya sudah, aku ke sana dulu."
"Silakan," ucapmu. Jika tidak mengingat janji bersama klien, tentu saja kamu sudah pergi dari tempat itu.
Ada secuil keuntungan buatmu. Klien yang kamu tunggu bukan mereka. Tetapi dengan rasa penasaran karena sudah tiga puluh menit berlalu dan klienmu belum juga datang, kamu berinisiatif untuk kroscek pesan chat semalam. Sungguh terkejutnya kamu ketika membaca nama tempat yang sudah disepakati. Nama tempat itu tertulis dengan jelas, Kedai Pohon.
Memang di kotamu terdapat restoran dengan nama yang hampir sama. Kamu pun menyadari itu. Bahkan kamu beberapa kali ke sana untuk sekadar nongkrong atau mengerjakan pekerjaan sebagai Desainer Interior.
Dengan sedikit tergesa, kamu meminum es cappucino yang baru kamu minum setengah. Setelah dirasa cukup, lalu kamu pergi ke kasir untuk membayarnya.
Sepertinya hari ini, kepanikan senang sekali bertengger pada dirimu. Kali ini disebabkan oleh kamu yang tidak menemukan dompet di mana pun. Di dalam tas pun kamu hanya menemukan beberapa uang koin yang jumlahnya masih sangat jauh dari harga segelas es cappucino.
"Sebentar ya, Mbak," ucapmu kepada kasir dan berusaha mencari uang di semua bagian tas dan semua kantong celanamu. Berharap ada selembar uang yang bisa menyelamatkan rasa malumu.
Tiba-tiba saja kamu mendengar suara yang sangat familier, sebab sudah tiga tahun selalu menemani hari-hatimu. Suara itu menawarkan sesuatu yang membuatmu mau tidak mau, dengan berat hati harus kamu terima.
"Besok aku ganti," ucapmu setelah itu.
"Tidak perlu," ucapnya sambil tersenyum kepadamu. Kamu melihat ada sesuatu yang lain di senyuman itu. Seperti mengandung racun yang membuatmu merasa terhina.
"Kalau begitu terima kasih dan aku harus segera pergi."
"Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang bisa bertemu kamu walau sebentar."
Kamu mengernyit, lagi-lagi kata-kata yang keluar dari mulut mantanmu sungguh mengandung sesuatu yang membuatmu bertanya-tanya. Tetapi sayang, waktu mengharuskan kamu segera pergi tanpa melanjutkan obrolan yang menggantung itu.
Meski kamu tahu waktu sudah sangat jauh dari perjanjian, tetap saja kamu mencoba pergi ke tempat yang benar, Kedai Pohon. Berharap klien masih sudi menunggumu di sana.
Sama halnya di Warung Pohon, di Kedai Pohon kamu tidak melihat ada seseorang yang tengah menunggumu. Jelas di Warung Pohon tadi kamu salah tempat, sedangkan di sini, sepertinya klienmu tidak sabar menunggu.
Di salah satu meja kosong, kamu meraih telepon selulermu dan menemukan chat dari klienmu. Chat itu berbunyi, "Maaf, saya hampir dua jam menunggu Anda. Bagi saya, tepat waktu adalah sumber kesuksesan dan Anda tidak memilikinya. Maaf."
"Maaf, Mas. Tidak jadi pesan," ucapmu kepada pelayan yang menghampiri dan menanyakan perihal pesanan. Dengan wajah lesu, kamu pergi dari sana.
Setibanya di kamar, kamu menjatuhkan diri di kasur empuk yang selalu siap membuatmu nyaman. Tidak lama kemudian, kamu bangkit dan menuju meja di sudut kamar. Kamu meraih majalah yang tergeletak di sana. Tanganmu mencari halaman di mana terdapat sebuah kolom bertuliskan horoskop yang kemarin sempat kamu baca sekilas.
TAURUS
Umum : Sebuah masalah yang lama akan terus mengejarmu.
Asmara : Mantan itu akan hadir di saat yang tidak tepat.
Bisnis : Kacau
Keuangan : Hati-hati akan ada hal yang memalukan
Hari keberuntungan : Tidak ada"Ini bukan horoskop namanya, tetapi hororskop." Dan kamu membakar majalah itu di halaman belakang rumah.