Karya: Siti Aminah
"Sayur!" teriak Bang Tejo --tukang sayur-- yang sering lewat perumahan Ajimari.
"Mpok, Mbak, Neng, Cece, sayur!" Suaranya bisa terdengar sampai ujung gang perumahan.
Satu per satu Ibu-ibu berdatangan termasuk Leli. Wanita muda yang baru menikah dua tahun, tetapi belum dikarunia anak.
"Bang, ada jengkol enggak?" tanya Bu Juminten --orang paling kepo seperumahan.
"Ada dong, Bu," jawab Bang Tejo.
"Berapaan?"
Mang Tejo mengambil jengkol, memberikannya pada Bu Juminten, lalu berkata, "Murah aja, Bu, cuman 15 ribu seperempat."
Seketika mata Bu Juminten membulat sempurna, kaget. Dua Ibu-ibu dan juga Leli pun sama tercengang mendengar harga jengkol tersebut.
"Ah, yang bener aja, Bang!" seru Bu Juminten sembari tangannya meraih jengkol, memandangi satu per satu setiap bijinya, lalu menaruhnya kembali. "Masa mahalan harga jengkol sama telur."
"Iya, bener tuh, Bu," tambah Leli. Wanita muda itu pun tidak terima. "Bang Tejo, mah kebanyakan ambil untungnya. Udah 10 ribuan aja, ya, Bang."
"Nah, bener sepuluh ribu aja," timpal Ibu Susi. "Kalau segitu, saya juga mau beli seperempat."
"Ih, Ibu-ibu pada kenapa sih! Nawar itu jangan sadis-sadis banget dong!" Mpok Halimah angkat suara.
"Emang Mpok Halimah pengennya berapa?" tanya Leli penasaran.
"Udahlah, Bang, kasih saya aja jengkolnya. Saya bayar delapan ribu rupiah," tawar Mpok Halimah.
Bang Tejo menggelengkan kepala, sedangkan yang lain menyoraki Mpok Halimah.
"Kalau kayak gitu mah sama aja sadis. Malahan itu mah udah level setan!" Bu Juminten memonyongkan bibirnya, kesal.
"Maaf, nih, Ibu-ibu. Maaf seribu maaf. Saya ini cuman pedagang sayur keliling, untungnya aja paling seribu, dua ribu. Kalau harga segitu mah, enggak bisa!" tegas Bang Tejo yang mulai jerah.
"Alah, si Abang perhitungan banget! Kita-kita, kan, pelanggan setia, Bang! Masa nawar segitu aja enggak dikasih, sih!" seru Leli.
"Aduh, gimana atuh, Neng Leli. Harga dari pasarnya aja enggak segitu," kata Bang Tejo.
Bu Juminten, Mpok Halimah, dan Bu Susi saling melempar pandangan. Leli memang jauh lebih muda dari mereka, tetapi perihal tawar menawar wanita berbaju merah itu ahlinya.
Bang Tejo berpikir sebentar. Ia mungkin tidak terlalu banyak mendapatkan keuntungan, jika memberikan jengkol tersebut dengan harga sepuluh ribu. Namun, dengan ia bisa menjual empar bungkus jengkol sekaligus. Setidaknya uang modal sudah balik.
"Iya, deh, saya kasih sepuluh ribu," kata Bang Tejo pasrah.
Leli mengurai senyum. Ia menoleh ke samping, mengedipkan mata pada ketiga Ibu-ibu tersebut.
"Nah, gitu dong, Bang! Kan, kita jadi seneng dan bakal langganan terus sama Bang Tejo," kata Bu Juminten.
Meski sedikit kesal, Bang Tejo akhirnya menyepakati harga yang ditawarkan pelanggannya. Hanya karena takut kehilangan, ia berani menurunkan harga yang menurutnya lumayan banyak.
Leli mengambil sebungkus jengkol, ayam bagian ceker setengah kilo, juga sebungkus paket sayur sop. Begitu pun dengan Bu Juminten, Bu Susi, dan Mpok Halimah yang segera mengambil sayuran yang diinginkan.
"Eh, Ibu-ibu pada tau enggak kalau ada baju model baru di butik depan, lho! Harganya mumer lagi," ujar Leli di sela-sela belanja.
"Emang berapaan, Neng?" Mpok Halimah menyaut.
Bu Juminten dan Bu Susi menajamkan pendengerannya.
"Berapa, ya? Kalau enggak salah harganya 500 ribu, deh," jawab Leli.
"Ah, yang bener?" tanya Mpok Halimah.
"Bener. Kalau enggak percaya, nanti kita datang ke sana barengan," kata Leli.
Bu Juminten dan Bu Susi mengangguk, sedangkan Mpok Halimah bergeming.
"Kenapa, Mpok? Kan, ini lebih murah. Yang kemarin aja harga sejuta, kebeli. Masa yang ini kagak bisa," sindir Bu Susi.
"Iya, bener, tuh. Minta aja sama si Abang Kemed. Kan, Mpok cinta matinya," tambah Leli.
Mpok Halimah berpikir sejenak. Kemarin saja untuk membeli baju harga sejuta tersebut, ia harus menjual dua cincin. Lalu, kali ini apa lagi? Jika tidak ikut, sudah pasti ia akan diperolok ketiga tetangganya.
"Halah, duit 500 ribu mah enggak ada apa-apanya buat saya," kata Mpok Halimah.
Leli tersenyum licik, ia tahu betul karakter tetangganya yang satu ini.
"Nah, kalau gitu mah berarti bisa dong beli bajunya?" sindir Bu Susi.
"Ya, jelas bisa dong!"
"Jadi ... kita setuju nih, ya, mau ke butik itu nanti sore?" Leli memastikan.
"Setuju banget!" Mpok Halimah antusias.
"Kita borong kalau bisa," timpah Bu Susi tidak mau kalah saing.
"Saya mah ikut aja," ujar Bu Juminten
Mereka melanjutkan pembicaraan sampai ke tahap pemilihan warna.
"Aku, sih, sukanya warna merah atau putih," imbuh Bu Juminten.
"Udah kayak bendera aja, Bu," sindir Leli.
Manik-manik Bu Juminten mendelik, ia terkenal orang yang sangat sensitif.
"Suka-suka saya, dong!" ketus Bu Juminten.
Leli memanyunkan bibirnya, kesal.
"Kalau saya, sih, sukanya warna hijau. Biar seger gitu diliat suami." Mpok Halimah membayangkan saat bersama suaminya.
"Ih, si Mpok genit!" ejek Bu Susi.
"Ya, biarinlah, kan, sama suami sendiri bukan ke suami orang!" kata Mpok Halimah.
Dibanding ketiga tetangganya, Leli sebenarnya sangat bingung. Demi gengsi, ia harus memutar otak untuk mencari uang tambahan. Uang bulanan dari suaminya pas untuk kebutuhan sehari-hari. Jika tidak ikut, harga dirinya sebagai yang paling muda ditaruhkan. Ini tak bisa dibiarkan!
"Kalau Neng Leli sendiri sukanya warna apa?" Bu Juminten bertanya dengan nada sedikit menyindir. Rumah mereka yang berdekatan membuat Bu Juminten sedikit tahu tentang Leli. Terutama penghasilan suami Leli yang hanya sebagai supir angkot. "Kita-kita juga, kan, pengen tau!"
Leli tersenyum kecut, lalu berkata, "Kalau saya, sih, warna apa aja suka. Yang penting bajunya bagus aja."
"Oh ...," kata Bu Susi dan Mpok Halimah secara bersamaan.
"Nanti jangan telat, ya, Ibu-ibu. Soalnya yang punya butik itu teman saya. Dia bilang mau tutup jam empar sore. Kita janjian jam satu aja," ujar Leli mengingat.
"Tenang aja, Neng. Mpok, nanti standby dari jam dua belas siang," sahut Mpok Halimah.
Bu Susi dan Bu Juminten juga mengikuti jawaban dari Mpok Halimah seperti seorang murid pada gurunya.
Bang Tejo cukup diam mendengarkan percakapan ibu-ibu tersebut sembari mengomel dalam hati. Bisa-bisanya mereka menawar harga kepada tukang sayur, tetapi berencana membeli baju dengan harga fantastis.
Usai beres belanja dan menyusun rencana, Bu Juminten pamit pulang. Begitu pun dengan Leli, Bu Susi dan Mpok Halimah. Begitu keempatnya menghilang dari pandangan, Bang Tejo ikut pergi melanjutkan berjualan sembari membawa hati yang dongkol.
"Gaya sosialita, tapi ke tukang sayur aja masih nawar! Mudah-mudahan istriku enggak kayak gitu. Amit-amit, dah! Bisa-bisa aku bangkrut!" gumam Bang Tejo sambil mendorong gerobaknya menjauh dari tempatnya tadi.