Karya: Ariska
Dewanto adalah seorang laki-laki dari kalangan kelas bawah. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi orang sukses yang bisa membanggakan orang tua, nusa, bangsa, dan juga agama. Berharap suatu hari semua keinginan orang tuanya dapat dia penuhi.
Dewanto mulai merintis karirnya dari memulung barang-barang bekas. Kemudian menjualnya kepada pengepul. Dia mengumpulkan uang dari sana sebagai modal usaha. Semuanya berjalan lancar. Uang yang dia kumpulkan sudah cukup banyak. Dewanto pun memutuskan untuk memproduksi cilok yang dia beri nama Cilok Surga—sebagai brand.
Dia mulai menjual dagangannya di area sekolah dasar. Tepatnya di depan gerbang sekolah. "Tiiiiiinnnnn.... Tin tin tin, tiiiiiinnnnn...." Begitu caranya menarik pelanggan—membunyikan klakson dengan bising. Anak-anak pun tertarik untuk mendekat.
"Bang, saya mau dua ribu, Bang!"
"Saya serebu, Bang!"
"Bang, saya duluan, Bang! Saya yang dateng pertama kali!"
"Nggak, Bang. Dia bo'ong, saya yang pertama, Bang!"
Anak-anak itu berseru tidak sabaran. Saling berebut, saling sikut. Dewanto melayaninya dengan tenang dan senang. "Iya iya, sabar ya, satu-satu," katanya sambil sibuk memasukan cilok pesanan ke dalam plastik seperempat kiloan.
"Nih! Kecap, saos, sama sambelnya ambil sendiri!" ucapnya, mengulurkan cilok kepada anak-anak yang berebutan menerima. "Sabar, sabar, satu-satu. Pelan-pelan, awas jatoh," katanya.
"Bang, namanya Cilok Surga, Bang?" tanya seorang anak perempuan yang nampak lebih besar dari yang lain. Mungkin murid kelas enam.
"Iya, Dek."
"Kenapa namanya itu, Bang?"
"Karena bahan-bahannya diambil dari surga," jawabnya santai sambil terus melayani anak-anak itu.
"Abang udah pernah mati, ya? Makanya bisa ambil bahan di surga." Dewanto tersedak. Kaget karena ditanyai hal semacam itu. Anak itu memerhatikan dengan tatapan polosnya.
***
Dagangan Dewanto laris manis. Meski tadi sempat salah bicara waktu ditanya. Jujur saja, tadi dia hanya menjawab asal. Nama Surga pun dia ambil agar tampak keren saja, terdengar berkualitas (kayaknya). Dewanto jadi takut nama itu akan menimbulkan masalah nantinya. Dia memutuskan untuk mengganti nama itu dengan Dewanto saja—nama aslinya.
Bisnis Dewanto pun semakin berkembang. Dia telah memiliki lima gerobak dagang dan lima karyawan untuk menjajakan ciloknya. Setiap pagi karyawan-karyawan itu datang ke rumah untuk mengambil barang dagangan. Kemudian pulang ketika dagangan telah habis bahkan sebelum malam.
Bisnisnya lancar jaya. Dia bisa memperbaiki rumah orang tuanya agar lebih layak huni. Mendaftarkan mereka naik haji dan membelanjakan segala hal yang mereka maui. Orang tua Dewanto begitu bangga. Mereka terus memuji dan mengelu-elukan anak sematawayangnya itu.
Dewanto ikut membusungkan dada ketika orang tuanya memperkenalkan dia kepada orang-orang sebagai anak rajin, jujur, pandai menabung, tidak sombong, dan patut dijadikan teladan oleh anak tetangga. Menjadi alasan anak tetangga depresi karena dibanding-bandingkan dengannya oleh orang tua mereka. _Bukan main, seperti bukan Dewanto yang dikenal selama ini._ Begitu pikir para orang tua. _Dewanto bajingan!_ Begitu pikir anak tetangga.
Dewanto saat ini telah mencapai titik kesuksesannya. Di mana dia memutuskan untuk membangun sebuah restoran bermenu makanan-makanan tradisional tetapi dengan nuansa modern. Unik sekali. Stafnya telah mencapai puluhan, karyawannya ratusan, pelanggannya ribuan. Mulus nian usahanya itu. Kulit Park Shin-hye mungkin kalah mulus dengan perjalanan karir Dewanto.
Hari ini adalah launching kantor baru. Tepat di aula gedung lantai lima itu, pesta dirayakan. Pita telah melintang, siap dipotong sebagai tanda peresmian. Jam menunjuk pukul sepuluh pagi. Pembawa acara sudah mulai berbicara. Dewanto berdiri gagah dengan jas hitam melekat di tubuhnya. Rambutnya klimis. Jelas bahwa dia menggunakan banyak minyak rambut dengan harga yang mahal. Apalagi sepatunya, beuh ... keluaran Swallow Cap Kaki Lima.
"Kepada Yang Terhormat Bapak Dewanto, dipersilahkan maju ke depan untuk pemotongan pita sebagai simbol peresmian." Tepukan bergemuruh. Dewanto dengan penuh percaya diri naik ke panggung. Menerima gunting yang diserahkan kepadanya.
Dia memandang sekeliling dengan dagu dinaikan dan dada dibusungkan. Tangan kanannya memegang gunting sedangkan yang kiri memegang pita—siap untuk dipotong. Seluruh tamu kompak menghitung, "Tiga ..., dua ..., sa ...."
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Rentetan peluru tiba-tiba menyerang.
Brak! Brak! Brak!
Pintu didobrak dari segala arah. _Ini pengepungan!_ Dewanto terkejut sekali. _Ada apa?_ Para tamu kebingungan, sebagian berseru-seru panik.
Suara gemuruh tiba-tiba memasuki indra pendengaran Dewanto. Dewanto menoleh ke sumber suara. Dari sana, air bah tiba-tiba datang. Tinggi sekali. Tidak kurang dari tinggi gedung dua lantai. Dewanto menganga tidak percaya atas apa yang dia lihat dan dalam hitungan detik, tubuhnya terhantam gelombang itu sebelum dia berhasil menyelamatkan diri.
***
Dewanto terperanjat. _Ini gila! Dari mana air itu bera_—"Mampus ga Lu, hah?!"– _sal?_ "Bangun Lu! Anak ngga tau diri! Udah hampir Dzohor masih aja molor!" sambung suara itu. Ternyata Emak. Air bah tadi adalah air yang Emak guyurkan ke wajah Dewanto dengan ember. Kini, bukan hanya badannya yang basah kuyup tetapi juga kasur kesayangan tempatnya tidur sepanjang hari.
"Apaan sih, Mak?! Dewa lagi mau lauching perusahaan, nih. Kenapa digangguin, sih?" Dewanto memprotes dengan kesal.
"Loncang-loncing, loncang-loncing!" Emak ikut kesal, "Gaya Lu, timbang ngimpi doang!" lanjutnya mengomel. Membuat dada Dewanto bergejolak tidak terima.
"Dari pada enggak sama sekali." Bibir Dewanto menjawab dengan licin bak jalanan bersalju di Florida.
Emak mendelik. Dia bersiap marah-marah lagi. Kali ini menarik bantal, memukul-mukulkannya pada Dewanto. "Sinting Lu, yak, hah?! Lu pikir ngimpi seharian bisa bikin Lu kenyang, hah?! Lu pikir Lu bakal sukses beneran kalo cuma mimpi doang, hah?!" Emak berseru-seru jengkel. "Kerja sana, kerja! Bikin usaha kek, apa kek. Punya anak atu ngga ada bangga-banggainnya sama sekali! Heran gua!" Emak Dewanto mencak-mencak, sedangkan Dewanto menggaruk-garuk kepala dengan muka kusut. "Liat noh, anaknya Pak Samsul udah bisa bikinin orang tuanya rumah gedongan. Lu kapan? Ngasih duit ceban aja kagak mampu!"
Dewanto mengelus dada. "Iya, iya," jawabnya pasrah menerima kenyataan pahit itu.
Kasur yang tidak lagi nyaman untuknya tidur, menjadi alasan Dewanto terpaksa bangun. Tidak, tidak. Dewanto bukan anak durhaka, hanya sedang malas menuruti apa kata orang tuanya saja. Nanti, kalau dia sudah tidak malas lagi, dia akan menurut dengan senang hati.
"Kasurnya jemur dulu!" Emak berteriak tepat di samping telinga Dewanto. Membuat Dewanto meringis kemudian memberengut kesal.
"Orang Emak yang basahin."
Tendangan si Emak mendarat dengan sukses di bokong Dewanto. Membuat Dewanto tersungkur dengan tidak estetik. "Jawab aja, Lu!"
Kesal, Dewanto menggigit bantalnya kuat-kuat. Karena kalau dia menggigit emaknya, bisa jadi menu makanan bapak hari ini menjadi sangat spesial; rendang daging anaknya sendiri. Kan tidak lucu kalau Dewanto bukan sukses berdagang makanan, tetapi sukses menjadi makanan ... bapaknya.
-End-